Mengenal dan Fakta Blok Wabu : Pemilik Modal Merampok Tambang Milik Rakyat


Blok Wabu terletak di distrik Hitalipa, 35 km sebelah utara Grasberg-Erstberg. Blok ini mengandung sumber daya geologis lebih dari 250 ton emas di sepanjang batas kompleks intrusif-ekstrusif yang terbentuk enam juta tahun yang lalu.1


Secara geologi, emas Blok Wabu terkandung dalam endapan oxidized gold skarn deposit, yang berasosiasi dengan unsur emas, seng, tembaga, bismut, dan telurium.2 Blok Wabu menempati posisi sebagai endapan terbesar ke-17 dari 25 besar endapan emas terbesar di region barat daya Pasifik.3

 

Blok Wabu diklaim memiliki kadar emas yang lebih besar dibandingkan tambang Grasberg milik Freeport Indonesia. Grasberg memiliki kadar emas 1,09 gram perton, sementara Blok Wabu memiliki kadar emas 2,16 gram perton. Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menyebut bahwa total potensi yang dimiliki setara dengan US$14 miliar atau Rp 300 triliun, dengan asumsi harga emas US$1.750 per-troy once.

 

Sejak dikembalikan PT Freeport Indonesia kepada Pemerintah sebelum 2018 lalu, Blok Wabu dikabarkan mulai menjadi rebutan para pengusaha. Holding perusahaan tambang Mining and Industry Indonesia atau MIND ID bahkan pernah menyatakan jika tambang tersebut memiliki potensi emas hingga mencapai 8,1 juta ounces.

 

Antam, anak perusahaan MIND ID, telah menyatakan komitmennya untuk menggandeng Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) jika pihaknya mengelola Blok Wabu. MIND ID melakukan penghitungan sumberdaya pada tahun 1999 untuk kategori measured, indicated dan inferred terdapat sekitar 117,26 juta ton dengan rata-rata 2,16 gram emas perton.

 

 

Kisruh di Sekitar Blok Wabu

 


Sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pelepasan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam, termasuk mineral turunannya, dilakukan dengan lelang. Perusahaan yang memenangkan lelang akan memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi.4

 

Sesuai Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, wilayah tambang emas yang telah dilepas asing harus dikembalikan ke negara. Lantaran pengembalian Blok Wabu oleh Freeport sudah dilaksanakan pada 2018, maka pengelolaannya menggunakan payung hukum Undang-udang Nomor 4 Tahun 2009. Menurut ketentuan, prioritas tambang pun akan diserahkan kepada BUMN atau BUMD.5

 

Setelah dilepas PT Freeport Indonesia, prioritas utama Blok Wabu mestinya diserahkan ke perusahaan tambang BUMN, seperti Mind ID atau PT Aneka Tambang (Tbk) alias Antam, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara.6

 

Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai siapa pemilih IUP eksplorasi untuk blok ini. MIND ID mengklarifikasi bahwa belum memperoleh penugasan untuk memegang izin konsesi tambang tersebut. Pengamat menilai Kementerian ESDM semestinya mengumumkan ke publik terkait posisi Blok Wabu saat ini. Jika Blok Wabu tak diberikan kepada ke perusahaan tambang BUMN, harus jelas alasannya ditenderkan ke swasta.

 

Isu mengenai Blok Wabu kemudian menjadi perbincangan akibat ada dugaan keterlibatan lingkaran dekat kekuasaan yang mencoba mengambil keuntungan dari blok ini.

 

Dalam video yang diunggah dalam kanal Youtube pribadi Haris Azhar disebutkan ada permainan penguasaan tambang dalam laporan bertajuk “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”.

 

Laporan yang diluncurkan YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan gerakan #BersihkanIndonesia, menyebutkan bahwa dua perusahaan tambang emas yang memegang izin eksplorasi di Intan Jaya, PT Madinah Qurrata ‘Ain dan PT ANTAM (Blok Wabu), merupakan contoh perusahaan yang terindikasi kuat mendapat fasilitas pengamanan dari pihak TNI & POLRI.

 

Laporan tersebut juga menyimpulkan bahwa keberadaan para purnawirawan dan prajurit militer aktif di perusahaan merupakan bentuk kaki kedua bisnis militer. Beberapa nama purnawirawan bahkan teridentifikasi pula merupakan anggota tim pemenangan presiden yang berkuasa saat ini, Joko Widodo. Relasi tersebut potensial membuat urusan perizinan perusahaan menjadi lebih mudah.

 

Temuan adanya praktik bisnis militer kaki kedua di Intan Jaya menyingkap adanya potensi kepentingan ekonomi di balik serangkaian “operasi militer ilegal” di Intan Jaya. Kajian ini menganggap semua operasi atau pengiriman pasukan sebagai tindakan ilegal karena sampai saat ini, Presiden belum mengeluarkan Keputusan Presiden yang disetujui DPR RI sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Dalam konteks ini, ketiadaan instruksi resmi tersebut makin memperjelas indikasi bahwa pengiriman pasukan dan operasi militer di Intan Jaya memang tidak semata soal penumpasan kelompok bersenjata, namun justru soal kepentingan ekonomi.

 

Khusus terkait PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ), perusahaan ini diduga terhubung dengan Toba Sejahtra Group. Luhut Binsar Pandjaitan tercatat masih memiliki saham di perusahaan Toba Sejahtera Group melalui anak usahanya, PT Tobacom Del Mandiri. West Wits Mining sebagai pemegang saham PTMQ membagi saham kepada Tobacom dalam proyek Derewo River Gold Project.7

 

Negara versus Pemilik Modal

 


Sudah lama kita dengar bahwa Indonesia adalah negara yang kaya hasil pertambangan. Berbagai jenis komoditas pertambangan dikeruk dari perut bumi Indonesia. Mulai dari material mineral, batubara, hingga minyak dan gas bumi ditambang. Sayang, sebagian besarnya untuk memenuhi permintaan luar negeri. Sebut saja batubara yang sebenarnya hanya butuh 23 persen saja untuk kebutuhan domestik. Begitu juga dengan LNG (gas alam cair) yang nyaris 100 persen hanya untuk diekspor.

 

Pemasukan negara dari ekspor mineral, batubara, dan migas jika dibandingkan dengan sektor lain memang paling besar. Sepertiga total pemasukan negara hasil dari aktivitas pertambangan.

 

PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dari sektor pertambangan cenderung meningkat setiap tahunnya. Untuk tahun ini saja PNBP sektor minerba hingga 8 Oktober 2021 sudah mencapai Rp49,84 triliun, atau sudah 127,45% dari yang ditargetkan tahun ini yang “hanya” Rp39,10 triliun. Jika dibandingkan dengan PNBP sektor minerba tahun 2012 yang meraih penerimaan Rp24,01 triliun, angka yang dicapai tahun ini sudah lebih dari dua kali lipatnya.

 

Namun, PNBP ini hanya diperoleh dari “mengemis” iuran tetap maupun royalti kepada pihak pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) maupun Kontrak Karya. Tentu keuntungan yang paling besar diperoleh perusahaan yang mengelola berbagai sumberdaya alam tersebut. Apabila dikelola oleh negara tentu akan memberikan keuntungan bagi rakyat yang jauh lebih besar.

 

Keterlibatan Elit Politik

 

Banyak kasus korupsi berkaitan erat dengan aktivitas bisnis pertambangan para pelakunya. Alasannya jelas, karena bisnis pertambangan membutuhkan modal yang besar. Selain itu keterlibatan Pemerintah yang diwajibkan dalam pengurusan perizinan dan jumlah royalti dan pajak yang besar membuat bisnis pertambangan sangat membutuhkan “orang dalam”.

 

Perizinan dan persetujuan Pemerintah harus didapatkan dari pejabat Pemerintah untuk kegiatan eksplorasi, pengembangan, konstruksi, dan pengoperasian pertambangan. Biasanya, infrastruktur yang diperlukan (seperti pelabuhan dan jalur kereta) juga dimiliki oleh Pemerintah. Artinya, perusahaan dan agen-agennya selalu berurusan dengan  Pemerintah untuk menyalurkan produk mereka ke pasar.

 

Akibatnya, pejabat Pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk dapat memblokir, menunda, atau menggagalkan suatu proyek dapat juga berupaya untuk mencari suap sebagai imbalan dari penggunaan kekuasaan.

 

Jalan pintas yang ditempuh untuk meminimalisir hambatan yang muncul untuk mengeruk keuntungan yang besar adalah dengan melibatkan orang-orang yang memiliki kekuatan politik atau masih atau sedang menjabat pada posisi politik tertentu. Tujuannya jelas, untuk memangkas alur birokrasi dan regulasi yang mempersulit berjalannya bisnis pertambangan. Bahkan jika perlu nama sang tokoh politik diletakkan sebagai komisaris atau direktur untuk menguatkan pengaruh dan memperlancar proses bisnis pertambangan.

 

Langkah Licik Mengubah Regulasi

 


Selain dengan melibatkan tokoh politik berpengaruh dan memiliki kewenangan dalam hal regulasi dan pengawasan, modus lain ialah dengan melakukan perubahan terhadap regulasi yang dianggap “menghambat investasi”. Seperti yang terjadi pada perubahan UU Minerba dan UU “Omnibus Law” Cipta Kerja.

 

UU Minerba dianggap akan memberikan keuntungan lebih besar kepada para pengusaha pertambangan. Pengesahan UU Minerba, juga UU Cipta Kerja, ibarat karpet merah yang sangat empuk karena memberikan keuntungan yang bertumpuk-tumpuk.

 

Poin yang sangat jelas terlihat pada perpanjangan kontrak. Dalam UU Minerba, perpanjangan kontrak tidak memerlukan proses lelang. Hal ini memberikan angin segar bagi para pemegang kontrak yang sedang berjalan dan ingin memperpanjangnya.

 

Perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) dapat memperpanjang secara otomatis operasionalnya selama 2 x 10 tahun tanpa melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang dilanjutkan dengan pelelangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

 

Revisi UU Minerba juga memberikan jaminan perlindungan yang lebih besar bagi para pejabat yang membuat keputusan, yakni dengan penghapusan Pasal 165 tentang pidana penjara dan denda bagi setiap orang yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang menyalahgunakan kekuasaan dan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

 

Omnibus Law pun tak sekadar memberikan kemudahan, namun juga fasilitas dan keamanan bagi para pemodal termasuk dari mancanegara untuk menjalankan usahanya di negeri ini. Omnibus law dianggap menjadi angin segar bagi emiten pertambangan. Dengan adanya aturan sapu jagad ini, Pemerintah memudahkan emiten tambang untuk melakukan kegiatan operasionalnya. Emiten tambang juga mampu mengurangi ketergantungan impor barang jadi maupun barang setengah jadi. Selain itu, dalam Omnibus law juga memberi karpet merah bagi para emiten tambang untuk melakukan kegiatan operasional sebab akan ada perubahan luasan konsesi tambang.

 

Dugaan keterlibatan hubungan antara pemilik modal dengan politisi yang terlibat dalam penyusunan beleid ini jelas menyeruak. Sangat nyata terlihat siapa pihak yang paling diuntungkan dan paling dirugikan.

 

Modus korupsi politik diduga sebagai pintu masuknya, dengan berbagai relasi hubungan antara politisi dan kepentingan korporasi, mulai dari ajang pemilu daerah hingga di pusat.

 

Beberapa Partai Politik besar terbukti memang menjadikan pengusaha kaya sebagai elit partai karena tingginya kebutuhan untuk membiayai aktivitas partai. Fenomena ini dapat menyebabkan partai dikooptasi oleh kepentingan kuasa ekonomi dan bisa  menghancurkan sistem pengambilan keputusan di internal Partai.

 

Fenomena ini secara kasatmata juga terlihat memperkuat posisi politik dari kapitalis-politisi dan kapitalis-birokrat terhadap keuangan kampanye. Komposisi pendanaan yang secara dominan dikuasai oleh kelompok elit politik dan pengusaha akan menciptakan stuktur kebijakan yang tentu membahagiakan oligarkhis.

 

Penguatan struktur oligarki yang ditandai dengan bersatu atau menumpuknya kepentingan politik dan bisnis akan secara alamiah menguatkan keleluasaan. Dengan demikian kebijakan akan sangat mudah diarahkan untuk memenuhi kepentingan bisnis

 

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [ALMAS YUSLIM]

 

Catatan kaki:

 

1        Garwin, S., Hall, R., & Watanabe, Y. (2005). Tectonic setting, geology, and gold and copper mineralization in Cenozoic magmatic arcs of Southeast Asia and the West Pacific. Economic Geology 100th anniversary volume, 891, 930.

2        Prendergast, K., Clarke, G. W., Pearson, N. J., & Harris, K. (2005). Genesis of pyrite-Au-As-Zn-Bi-Te zones associated with

Cu-Au skarns: evidence from the Big Gossan and Wanagon gold deposits, Ertsberg District, Papua, Indonesia. Economic Geology, 100(5), 1021-1050.

3        Hollings, P., Baker, M. J., Orovan, E., & Rinne, M. (2018). A special issue devoted to porphyry and epithermal deposits of the southwest Pacific: an introduction. Economic Geology, 113(1), 1-6.

4        https://bisnis.tempo.co/read/1512653/mind-id-pastikan-belum-kantongi-izin-pengelolaan-blok-wabu-di-intan-jaya-papua

5        https://ekonomi.bisnis.com/read/20210925/44/1446724/kandungan-emas-blok-wabu-lebih-besar-dari-grasberg-freeport-nilainya-setara-rp300-triliun

6        https://money.kompas.com/read/2021/09/23/192039226/kementerian-esdm-dinilai-perlu-buka-suara-soal-blok-wabu

7        https://bisnis.tempo.co/read/1509970/konflik-luhut-dan-haris-azhar-di-manakah-lokasi-blok-wabu-gunung-emas-ini

Komentar

Postingan Populer