Hizb Tahrir Bukan Wahabi ; Mari Mengenal Apa Itu Wahabi
Siapa
sebenarnya Wahabi? Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi atau setidaknya mirip Wahabi?
Jika tidak, ada apa sebenarnya di balik tuduhan seperti ini?
Jawab:
Wahabi adalah
gerakan Islam yang dinisbatkan kepada Muhammad
bin Abdul Wahhab (1115-1206 H/1701-1793 M). Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya merupakan pengikut mazhab
Hanbali, kemudian berijtihad dalam beberapa masalah, sebagaimana yang diakuinya
sendiri dalam kitab, Shiyânah al-Insân,
karya Muhammad Basyir as-Sahsawani.(1)
Meski demikian, hasil ijtihadnya dinilai bermasalah oleh ulama Sunni yang lainnya.
Nama
Wahabi sendiri telah dikubur oleh
para pengikut dan penganutnya. Boleh jadi karena sejarah kelam pada masa lalu.
Namun, mereka mempunyai alasan lain. Menurut mereka, ajaran Muhammad bin Abdul Wahbab adalah ajaran
Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Salafi
atau Muwahhidûn, yang berarti “orang-orang
yang mentauhidkan Allah”, bukan Wahhâbi.
Secara
historis, gerakan Wahabi telah
mengalami beberapa kali metamorfosis. Mula-mula adalah gerakan keagamaan murni
yang bertujuan untuk memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan
khurafat, yang dimulai dari Uyainah, kampung halaman pendirinya
tahun 1740 M. Di kampungnya, gerakan ini mendapatkan penentangan. Muhammad bin Abdul Wahhab pun terusir
dari kampung halamannya dan berpindah ke Dar’iyyah. Di sini, pendiri Wahabi itu mendapat perlindungan dari Muhammad bin Saud, yang notabene
bermusuhan dengan Amir Uyainah. Dalam kurun tujun tahun,
sejak tinggal di Dar’iyyah, dakwah Wahabi
berkembang pesat.
Tahun
1747 M, Muhammad bin Saud, yang notabene adalah agen Inggris, menyatakan
secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan
keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Keduanya pun sama-sama diuntungkan. Dalam kurun 10 tahun, wilayah kekuasaan Muhammad bin Saud berkembang seluas 30
mil persegi. Muhammad bin Abdul Wahhab pun
diuntungkan, karena dakwahnya berkembang dan pengaruhnya semakin menguat atas
dukungan politik dari Ibn Saud.
Namun, pengaruhnya berhenti sampai di wilayah Ihsa’ 1757 M.
Ketika
Ibn Saud meninggal dunia tahun 1765
M, kepemimpinannya diteruskan oleh anaknya, Abdul Aziz. Namun, tidak ada perkembangan yang berarti dari gerakan
ini, kecuali setelah tahun 1787 M. Dengan kata lain, selama 31 tahun (1957-1788
M), gerakan ini stagnan.
Namun,
setelah Abdul Aziz, yang juga agen
Inggris itu, mendirikan Dewan Imarah
pada tahun 1787 M, sekaligus menandai lahirnya sistem monarki, Wahabi pun terlibat dalam ekspansi
kekuasaan yang didukungnya, sekaligus menyebarkan paham yang dianutnya. Tahun
1788 M, mereka menyerang dan menduduki Kuwait. Melalui metode baru ini, gerakan
ini menimbulkan instabilitas di wilayah Khilafah
Utsmani; di semenanjung Arabia, Irak dan Syam yang bertujuan melepaskan
wilayah tersebut dari Khilafah. Gerakan mereka akhirnya
berhasil dipukul mundur dari Madinah tahun 1812 M. Benteng terakhir mereka di
Dar’iyyah pun berhasil diratakan dengan tanah oleh Khilafah tahun 1818 M.
Sejak itu, nama Wahabi seolah
terkubur dan lenyap ditelan bumi.(2)
Namun,
pandangan dan pemikiran Wahabi
memang tidak mati. Demikian juga hubungan penganut dan pendukung Wahabi dengan keluarga Ibn Saud.
Metamorfosis
berikutnya terjadi ketika mereka mengubah nama. Nama Wahabi tidak pernah lagi digunakan, mungkin karena rentan. Akhirnya,
mereka lebih suka menyebut diri mereka Salafi.
Namun, pandangan dan cara mereka berdakwah tetap sama. Inilah fakta sejarah
tentang Wahabi. Dari fakta ini jelas
sekali, bahwa Wahabi (Salafi) ikut membidani lahirnya
Kerajaan Arab Saudi. Karena itu, tidak aneh jika kemudian Wahabi (Salafi)
senantiasa menjadi pendukung kekuasaan Ibn
Saud sekalipun Wahabi (Salafi) bukan merupakan gerakan
politik.
Ini
jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir adalah partai politik
yang berideologi Islam. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kehidupan Islam
dengan mendirikan Khilafah yang
menerapkan sistem Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Politik
adalah aktivitasnya.(3) Meski
begitu, Hizbut Tahrir tidak pernah
terlibat dalam pendirian rezim manapun yang berkuasa saat ini di dunia. Hizb juga tidak pernah terlibat dalam
dukung-mendukung kekuasaan/negara manapun. Sebabnya, semua negara yang ada di
seluruh dunia saat ini bukanlah negara yang dibangun berdasarkan akidah Islam
dan memerintah berdasarkan hukum-hukum Allah. Dalam pandangan Islam, menurut Hizb, satu-satunya negara bagi umat
Islam di seluruh dunia adalah Khilafah,
yang notabene pernah dirongrong oleh konspirasi Inggris dan agennya, dinasti Ibn Saud, termasuk di dalamnya
menggunakan Wahabi.
Pandangan
keagamaan Wahabi sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam masalah aqidah, misalnya, Wahabi, banyak
mengambil pandangan Ibn Taimiyyah
dan muridnya, Ibn al-Qayyim
al-Jauziyyah. Tauhid, menurut mereka, ada dua yaitu: tauhid rububiyyah wa asma’ wa shifat dan tauhid rububiyyah. Tauhid yang pertama
bertujuan untuk mengenal dan menetapkan Allah sebagai Rabb, dengan nama-nama
dan sifat-sifat-Nya. Tauhid yang kedua terkait dengan tuntutan dan tujuan (at-thalab wa al-qashd).(4) Syaikh ‘Abd al-’Aziz bin Baz, kemudian membagi tauhid tersebut
menjadi tiga: tauhid rububiyyah,
tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa as-shifat.(5)
Ini
berbeda dengan Hizb. Dalam tauhid, Hizb tidak mengenal klasifikasi seperti
ini. Dalam pembahasan tentang sifat, misalnya, Hizb tidak membahas sifat dan asma dalam konteks itsbât bilâ tahrîf wa la ta’thîl wa la
takyîf wa la tamtsîl (menetapkan
sifat dan asma Allah, tanpa menyelewengkan, mengabaikan, mendes-kripsikan
tatacara-Nya dan menyerupakannya dengan yang lain), sebagaimana lazimnya Wahabi.(6) Hizb membahas sifat justru untuk meluruskan perdebatan yang tidak
berkesudahan, antara Muktazilah, yang
menyatakan bahwa sifat Allah sama dengan Dzat-Nya, dan Ahlussunnah, yang menyatakan, bahwa
sifat Allah tidak sama dengan Zat-Nya. Dalam pandangan Hizb, perdebatan seperti ini tidak
bisa dan tidak boleh dilakukan, karena tidak berangkat dari fakta,
melainkan didasarkan pada asumsi mantik.(7)
Bagi
Wahabi, masalah utama umat Islam
adalah masalah aqidah; aqidah umat ini dianggap sesat, karena
dipenuhi syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Karena itu, aktivitas dakwah
mereka difokuskan pada upaya purifikasi
(pemurnian) aqidah dan ibadah umat Islam. Aqidah dimurnikan dari syirik,
baik syirik ashghar (syirik kecil), akbar (syirik besar) maupun syirik khafi (syirik yang samar-samar);
juga tahayul dan khurafat. Ibadah juga harus dimurnikan dari bid’ah, yang didefinisikan sebagai membuat metode yang tidak
dicontohkan sebelumnya. Dalam pandangan mereka, bid’ah ada dua: bid’ah
dalam adat dan tradisi; bid’ah dalam agama. Bid’ah yang
pertama, menurut mereka, hukumnya mubah/boleh. Bid’ah yang kedua semuanya haram dan sesat (dhalalah). Bid’ah yang
kedua ini mereka bagi menjadi dua: Bid’ah
qawliyyah i’tiqadiyyah, seperti ucapan dan pandangan Jahmiyah, Muktazilah,
Rafidhah dan sebagainya; bid’ah fi
al-’ibâdah.(8)
Ini
berbeda dengan Hizb. Pandangan
seperti ini, menurut Hizb, juga
berbahaya karena menganggap seolah-oleh umat Islam belum beraqidah Islam. Ini
tampak pada pandangan mereka terhadap kaum Muslim yang lain, selain kelompok
mereka, yang dianggap sesat. Bahkan mereka tidak jarang saling
sesat-menyesatkan terhadap kelompok sempalan mereka. Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam
kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak proporsional. Betul, bahwa ada
masalah dalam aqidah umat Islam,
tetapi tidak berarti mereka belum beraqidah Islam. Bagi Hizb, umat Islam sudah beraqidah Islam. Hanya saja, aqidahnya harus
dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb
tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan aqidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah
tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus
perjuangan Hizb adalah mengembalikan
kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah.
Bagi
Hizb, aqidah umat harus dibersihkan
agar bisa menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan
negara. Setelah itu, aqidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu
membangkitkan mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk
memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi.
Dengan
pandangan Wahabi seperti itu
terhadap aqidah umat Islam, ditambah ketidaktahuan mereka tentang konstruksi
masyarakat—yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan system—maka wajar
jika sejarah Wahabi berlumuran darah
kaum Muslim. Situs-situs penting dan bersejarah di dalam Islam pun mereka
hancurkan. Semuanya dengan dalih membebaskan umat Islam dari syirik dan
khurafat. Ini jelas berbeda dengan Hizb.
Hizb tahu persis konstruksi masyarakat sehingga dalam dakwahnya tidak
pernah menyerang manusia atau obyek-obyek fisik, seperti situs-situs penting
dan bersejarah; melainkan menyerang pemikiran, perasaan dan sistem yang
diyakini dan dipraktikkan oleh manusia. Itulah yang menjadi fokus serangan Hizb. Karena itu, dakwah Hizb dikenal sebagai dakwah fikriyyah
lâ ‘unfiyyah (intelektual dan
non-kekesaran).
Pendek
kata, perbedaan Hizb dengan Wahabi begitu jelas dan nyata.
Menyamakan Hizb dengan Wahabi bisa jadi karena tidak mengerti
tentang kedua-duanya, atau sengaja untuk melakukan monsterisasi terhadap Hizb, agar disalahpahami, dibenci
dimusuhi dan dijauhi oleh umat. Inilah yang sebenarnya hendak dilakukan. Lalu
siapa yang diuntungkan dengan semuanya ini, tentu bukan Islam dan kaum Muslim,
melainkan kaum kafir penjajah dan para boneka mereka, yang tetap menginginkan
negeri-negeri Muslim, seperti Indonesia, ini tetap terjajah. Na’ûdzu billâh. []
Ghazi.
Catatan kaki:
1.
Lihat, Muhammad Basyir as-Sahsawani, Shiyânah al-Insân, hlm. 475.
2.
Lihat, ‘Abdul Qadîm Zallûm, Kayfa Hudimat al-Khilâfah, Dâr al-Ummah,
Beirut, 1994.
3.
Taqiyuddîn an-Nabhâni, Mafâhîm Hizb
at-Tahrîr, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2001,
hlm. 84.
4.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarah Kitâb at-Tawhîd, Muassasah Qurthubah, t.t.,
hlm. 25.
5.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam
al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, Makatabah al-Malik
Fahd al-Wathaniyyah, cet. II, 1423 H, hlm. 30.
6.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarh Kitâb at-Tawhîd, hlm. 25; Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, hlm.
20.
7.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,
Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz al-Awwâl, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr,
cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2003, hlm. 116-124.
8.
Dr. Fauzan bin ‘Abdullah Fauzan, ‘Aqîdah
at-Tawhîd, Mamlakah al-’Arabiyyah as-Sa’udiyyah, Muassasah al-Haramain
al-Khairiyyah, Riyadh, hlm. 176-177.
Komentar
Posting Komentar