Pemuda Korban Sistem Kapitalisme
Bonus demografi yang Allah ﷻ berikan untuk Indonesia menjadi sasaran empuk eksploitasi ideologi Kapitalisme. Gempuran pemikiran, peraturan dan gaya hidup telah membuat pemuda Muslim semakin jauh dari Islam. Semua ini mampu mencabut identitas Islam, ekploitasi ekonomi sampai perubahan lifestyle dan mental pemuda.
Hari ini kita melihat pemuda Muslim semakin jauh dari identitas Islam. Potensi pemuda untuk membangun peradaban Islam telah dibajak menjadi sekadar tenaga kerja dan target pasar industri kapitalis. Bahkan di era digitalisasi nasib pemuda semakin memprihatinkan.
Oleh karena itu nasib pemuda Muslim harus menjadi perhatian umat Islam. Baik bagi generasi muda maupun generasi tua. Pemuda Muslim telah hilang kesadaran akalnya bahwa saat ini mereka hidup dalam keterjajahan. Diperlukan akal yang jernih dan kesadaran politik yang sempurna dari umat Islam untuk menyingkap bentuk penjajahan ini. Tidak hanya pada tataran teknis, namun harus paradigmatik.
Penjajahan Ideologi, Politik dan Ekonomi
Pasca Perang Dunia II Barat telah mengubah bentuk penjajahannya terhadap negeri-negeri Islam. Dari kekuatan militer dan perang berubah menjadi non-fisik berupa intervensi politik dan ekonomi. Ibarat serigala berbulu domba, upaya mereka ini mampu mengecoh pemuda Muslim. Mereka tidak sadar dengan kondisi mereka yang saat ini yang masih terjajah.
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi adalah akibat penerapan ideologi penjajah, yaitu Kapitalisme. Negeri yang sudah Allah limpahi kekayaan SDA seharusnya bisa menyejahterakan rakyatnya. Namun, liberalisasi ekonomi dengan jalan investasi dan perdagangan bebas mengakibatkan SDA yang seharusnya untuk rakyat dikuasai negara maju penjajah. Akibatnya, negeri ini hanya mendapatkan remehan berupa pajak.
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi adalah bahaya akut penerapan Kapitalisme. Prinsip persaingan bebas hanya akan menjadikan yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Michael Moore, seorang sutradara dan pengamat sosial politik Amerika, menggambarkan “Kapitalisme telah menunjukan hanya beberapa orang yang akan sukses dan berhasil. Sisanya akan melayani mereka yang sukses tersebut”
Hasil survei oleh Deloitte, sebuah kelompok akuntan global terbesar di dunia yang berkantor di Amerika Serikat, dalam laporan mereka yang berjudul, “The Deloitte Global 2022 Gen Z and Millennial”, mengatakan bahwa 72 persen generasi Z dan 77 persen generasi milenial peserta survei di seluruh dunia setuju ketimpangan ekonomi semakin melebar. Artinya, secara global perbedaan jumlah uang yang dimiliki si kaya dan si miskin semakin jauh selisihnya. Uang si kaya semakin bertambah dan si miskin semakin berkurang.
BPS juga merilis tingkat ketimpangan pengeluaran (belanja) penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio pada bulan Maret 2020 adalah 0,381. Kemudian pada September 2020 Gini Ratio menjadi 0,385 atau naik 0,004 dari Maret 2020. Kemudian pada periode Maret 2021, angkanya kembali turun 0,001 menjadi 0,384. Angka ini tidak mengalami perubahan sampai Maret 2022. Artinya, setelah 77 tahun merdeka, penduduk Indonesia masih saja dalam kondisi ketimpangan dan gagal untuk membangun kesejahteraan yang merata.
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi ini akhirnya berdampak pada sektor pendidikan yang juga tidak merata bagi seluruh pemuda. Kesenjangan terlihat pada akses pendidikan antara daerah-daerah perkotaan dan daerah-daerah di kawasan tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Ini terlihat juga dari Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SMA/sederajat masih rendah. Untuk anak keluarga 20 persen termiskin, APK jenjang SMA sebesar 71,35, lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 20 persen terkaya dengan APK mencapai 92,96.
Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, juga mengakui kualitas pendidikan di Indonesia belum merata. Buktinya, mayoritas penduduk Indonesia atau sebesar 65%-nya hanya tamatan SMP/Sederajat. Tingkat kecerdasan anak Indonesia juga berada pada urutan 72 dari 78 negara. Hasto juga membeberkan data jika 54% angkatan kerja adalah mantan penderita stunting.
Bidang kesehatan juga mengalami ketimpangan. Menteri PMK, Muhadjir Effendy mengakui, masih ada ketidaksetaraan pelayanan kesehatan yang dialami masyarakat peserta JKN. Masalah itu berkaitan dengan sebaran fasilitas, infra/supra struktur, dan tenaga kesehatan yang tidak merata.
Rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan akan berdampak terhadap rendahnya kualitas pemuda. Secara ekonomi, ini berpengaruh terhadap kualitas angkatan kerja pemuda. BPS melaporkan hingga Februari 2022 jumlah angkatan kerja tercatat sebanyak 144,01 juta orang. Dari angkatan kerja ini, yang bekerja 135,61 juta orang dan pengangguran sebanyak 8,4 juta orang. Dari jumlah bekerja ini, status pekerjaan utamanya terbanyak adalah buruh/karyawan/pegawai sebesar 36,72% dan disusul oleh berusaha sendiri sebesar 19,84%. Penduduk yang berusaha sendiri dan dibantu buruh tetap paling sedikit, yakni 3,31%. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan pemuda saat ini adalah buruh dan pekerja informal dengan rata-rata upah buruh 2,8 juta per bulan.
Kemiskinan ini juga menjadikan anak-anak menjadi buruh dan pekerja. BPS mencatat sekitar 2,3 juta pekerja anak. Tentu saja hal ini akan menghantarkan perempuan dan anak-anak menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Pertanyaannya: Jika postur ketenagakerjaan Indonesia seperti uraian di atas, apakah mungkin Indonesia emas 2045 bisa terwujud? Apakah mungkin pemuda di negeri mayoritas Muslim ini mampu menjadi pemimpin arus digitalisasi yang selalu dinarasikan Pemerintah atau malah menjadi korban/budak digital?
Penjajahan Identitas dengan Nilai-Nilai Sekuler Liberal
Industri Kapitalisme yang mengarahkan pada kehidupan konsumerisme dan hedonisme telah memalingkan pemuda Muslim dari identitas Islam. Industri gaya hidup, hiburan dan digital yang mengeksploitasi kesenangan seperti film, konser musik, sosmed, fashion dan perayaan seperti hari valentine dan halloween telah membuat pemuda Islam tidak lagi berpikir mendalam dalam aktivitas kehidupannya. Eksploitasi ini menghantarkan pada proses hegemoni akal dan pikiran. Keberadaan akal seharusnya digunakan untuk menemukan jalan keimanan dan mengokohkannya. Namun, akal saat ini malah terkooptasi; memikirkan kesenangan kehidupan duniawi semata. Akibatnya, pemuda Muslim semakin lemah keimanannya kepada Allah ﷻ . Tentu saja lemahnya iman berakibat tidak mau terikat dengan aturan syariah. Mereka bahkan menganggap syariah adalah beban atau menghalangi kesenangan yang mereka inginkan. Mereka insecure dengan syariah dan identitas dirinya sebagai Muslim.
Fenomena tidak butuhnya pemuda pada syariah juga berdampak terhadap kurangnya perhatian untuk mengkaji/menuntut ilmu agama. Kebebasan berekspresi yang diaruskan kapitalis demokrasi juga berdampak pada semakin jauhnya adab pemuda Muslim dari kepribadian Islam.
Selain menjauhkan pemuda Muslim dari identitas dan nilai Islam, Barat juga berupaya memadamkan kebangkitan pemuda Muslim. Proyek Countering Violent Extremism (CVE) yang diaruskan Amerika secara global dan The UN Global Counter-Terrorism Strategy-nya PBB telah menjadikan pemuda Islam terkooptasi dengan narasi radikalisme dan terorisme yang dilekatkan pada Islam. Lalu arus moderasi beragama dijadikan alat untuk menangkal radikalisme yang disematkan Barat penjajah. Akibatnya, moderasi beragama malah berefek pada kerancuan berpikir pemuda Muslim. Apa yang sudah jelas-jelas terlarang dalam Islam menjadi kabur di mata pemuda saat ini. Akibatnya, baik dan buruk, serta terpuji dan tercela tidak bisa lagi dibedakan karena standarnya tidak jelas. Dengan alasan menghargai pendapat dan label open mind pemuda Muslim tidak memandang feminisme, sekularisme, liberalisme adalah konsep yang bertentangan dengan Islam.
Penjajahan Mental, Keluarga dan Sosial
Nilai materialistik dan lemahnya iman di era digitalisasi telah mengakibatkan pemuda hari ini rentan dengan penyakit mental. Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP) Sandersan Onie mengungkapkan bahwa mental Gen-Z saat ini memang lebih rentan depresi. Berbagai tantangan dan persaingan yang jauh lebih berat dianggap jadi penyebab utama mental Gen-Z disebut lemah. Media sosial membuat mereka jadi sibuk membandingkan diri sendiri dengan persona sempurna yang diunggah di dunia maya.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Untuk saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk. Artinya, sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.
Kepala Centre for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, Diana Setiyawati, PhD, Psikolog, mengatakan, penelitian mendapati kondisi di sistem kesehatan mental yang tidak setara di Indonesia. Diana menjelaskan, faktor umum yang memperbesar risiko pengembangan gangguan jiwa di Indonesia yakni: kemiskinan, pendidikan kesehatan mental rendah, pola asuh di keluarga, kekerasan antar remaja dan bullying.
Dalam hubungan keluarga, gaya hidup bebas juga menjadi penyebab keretakan ortu dan anak. Baru-baru ini, misalnya, seorang ibu di Palembang dilaporkan ke Polisi oleh anak kandungnya yang masih SMP karena dilarang pacaran kelewat batas.
Budaya hedonisme dengan menciptakan kepuasan materi telah mengajarkan sikap konsumerisme dan materialisme sejak dini. Anak-anak dimanjakan dengan fasilitas oleh orangtua. Tak ada permintaan anak yang tak dikabulkan. Anak-anak yang tumbuh dalam suasana ini merasa bahwa pemberian materi adalah simbol kasih sayang. Materi adalah ukuran kasih sayang. Semakin besar pemberian materi, semakin besar penilaian terhadap kasih sayang.
Budaya hedonisme ini berpotensi menciptakan konflik antar anggota keluarga, termasuk anak dengan orangtua, karena ketidakpuasan akan materi. Kondisi inilah yang terjadi belakangan; perebutan harta waris antar saudara kandung, atau anak menggugat warisan dari orangtua. Bahkan sampai terjadi kekerasan dan pembunuhan. Pada bulan Januari 2021, seorang ibu bernama Hj Daminah berusia 78 tahun digugat tiga anak perempuan kandungnya soal warisan. Berkali-kali sang ibu menghadiri sidang di Pengadilan Negeri dengan menggunakan kursi roda karena sudah lanjut usia. Terbaru kasus pembunuhan ayah-ibu dan kakak oleh anak laki-lakinya di Magelang. Tidak berlebihan jika hari ini kita bisa bahkan harus mengatakan Indonesia sedang mengalami krisis nilai-nilai keluarga.
Dalam kehidupan sosial pemuda saat ini dihadapkan pada seks bebas, LGBT, miras dan narkoba. Data dari Reckitt Benckiser Indonesia yang melakukan survei pada 2019 menyebutkan, 33% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seksual. Kejahatan narkoba dan psikotropika di Indonesia menembus angka 15.455 kasus dalam semester pertama di 2022. Bahkan data di Pusiknas Bareskrim Polri menunjukkan perkara narkoba menjadi kejahatan tertinggi kedua setelah pencurian dengan pemberatan atau curat. Total pengguna narkoba sampai tahun 2019 saja sudah mencapai 4,5 juta orang di seluruh Indonesia. Bahaya LGBT juga semakin mengkhawatirkan. Diprediksi jumlah gay saja mencapai tiga persen penduduk Indonesia. Data di atas memperlihatkan bagaimana mirisnya dehumanisasi yang terjadi pada pemuda saat ini.
Khatimah
Melihat potret menyedihkan pemuda hari ini, umat Islam harus bersegera menyelamatkan mereka agar tidak terus menerus menjadi korban sistem Kapitalisme. Aktivis dakwah Islam harus berupaya mengembalikan akal dan kesadaran mereka sebagai hamba Allah. Umat Islam harus bersatu membangun visi politik bersama dengan pemuda mewujudkan generasi khayru ummah. Umat harus mampu menggambarkan bahwa Islam itu sebuah tawaran dan solusi, bukan beban. Tentu agar pemuda bisa berubah menuju lebih baik, lebih kritis dan tidak mudah terbawa arus penjajahan ideologi Kapitalisme.
Rasulullah ﷺ. telah membuktikan keberhasilan thariiqah dakwah yang istiqamah dan istimraar dalam membina para pemuda di tengah arus jahiliah kemusyrikan. Insya Allah, pada saatnya nanti Allah akan menurunkan pertolongan-Nya kepada kita, sebagaimana dulu terpilih sejumlah pemuda terbaik untuk berdakwah bersama Rasulullah ﷺ. hingga mampu menghantarkan pada kemenangan, yaitu tegaknya Negara Madinah. Allahu Akbar.
[ALMAS YUSLIM]
Sumber:
1 https://indonesiabaik.id/infografis/usia-muda-dominasi-penduduk-indonesia#:~:text=Dikutip%20dari%20 Hasil%20Sensus%20Penduduk,atau%20sebesar% 2025%2C87%20persen
2 https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/06/15/102000882/riset—mayoritas-milenial-dan-gen-z-nilai-yang-kaya-semakin-kaya-yang?page=all&jxconn=1* 1lumwl9*other_jxampid*am5uenFyVzh3MlRNZGVuczBUbEZ sNHpKZnJId3hCNUVaM2hCWFdOdzNZaXNiY0tsOUZ hMWdFTTBBUC05MnBqVA..#page2
3 https://dataindonesia.id/Ragam/detail/bps-jumlah-penduduk-indonesia-sebanyak-27577-juta-pada-2022.
4 https://wartaekonomi.co.id/read326255/kualitas-pendidikan-belum-merata-mayoritas-penduduk-indonesia-hanya-lulusan-smp
5 https://www.republika.id/posts/22938/erdy519
6 https://communication.binus.ac.id/2022/12/07/kesehatan-mental-generasi-z-dan-milenial-disebut-yang-paling-lemah/
7 https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/28/jumlah-pekerja-migran-ri-naik-jadi-24-ribu-orang-pada-oktober-2022-ini-provinsi-penyumbang-terbanyak
8 https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/narkoba,_kejahatan_tertinggi_kedua_di_indonesia
9 https://jatengdaily.com/2020/generasi-milenial-melawan-narkoba/?amp=1
10 https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5764291/world-mental-health-day-data-kesehatan-mental-indonesia-dari-ugm-dan-ykis
Komentar
Posting Komentar