EOR Enhanced Oil Recovery dengan Injeksi Kimia (Chemical Injection)
I. Injeksi alkalin
Gambar. Recovery Minyak dari Berbagai Pendesakan Kimia
Injeksi
alkalin atau kaustik merupakan suatu proses dimana pH air injeksi dikontrol
pada kisaran harga 12-13 untuk memperbaiki perolehan minyak. Beberapa sifat batuan dapat mempengaruhi terhadap injeksi alkalin. Ion
divalen dalam air di reservoir, jika jumlahnya cukup banyak dapat mendesak slug
alkalin karena mengendapnya hidroksida – hidroksida yang tidak dapat larut. Gypsum dan anhydrit jika
jumlahnya melebihi dibandingkan dengan jumlahnya yang ada didalam tracer akan
menyebabkan mengendapnya Ca(OH)2 dan membuat slug NaOH menjadi tidak efektif.
Clay dengan kapasitas pertukaran ion yang tinggi dapat menghasilkan slug NaOH
dengan menukar hidrogen dari sodium. Limestone dan dolomit bersifat tidak
reaktif dan reaksi dengan komponen silika di dalam batu pasir sangat lambat dan
tidak lengkap, sedangkan reseistivitas alkalin dengan batuan reservoir dapat
ditentukan di laboratorium.
Dari
pengalaman di lapangan, penggunaan CO-surfaktan ini, ternyata dapat meningkatkan recovery minyak sampai
20% Hal ini disebabkan karena selain ikut mendesak, surfaktan juga turut
melarutkan minyak. Zat tambahan lain yang sering dipakai adalah larutan elektrolit NaCl
yang digunakan sebagai preflush,
untuk menggerakkan air formasi yang tidak cocok dengan komposisi slug
surfaktan.Injeksi alkaline sebagai salah satu alternatif injeksi
kimia, mempunyai pengaruh dalam peningkatan recovery yang dapat dibandingkan
dengan injeksi kimia lain seperti yang terlihat pada. Pada injeksi alkaline, banyak sekali kemungkinan
bahan yang dapat dipakai, pemilihan bahan dilakukan berdasarkan pH tertinggi,
sebab pH yang tinggi akan mengakibatkan penurunan tegangan permukaan minyak. Bahan kimia yang menghasilkan pH tinggi pada konsentrasi yang rendah
adalah NaOH. Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kondisi optimum
pada injeksi alkaline dicapai dengan konsentrasi NaOH 0,1 % berat dan ukuran
slugnya sekitar 15% volume pori, selain itu bahan kimia injeksi ini paling
murah dibandingkan dengan bahan untuk injeksi kimia lainnya.
Zat tambahan lain yang sering dipakai adalah
larutan elektrolit NaCl yang digunakan sebagai preflush, untuk menggerakkan air formasi yang tidak cocok dengan
komposisi slug surfaktan. Pada injeksi alkaline, banyak sekali kemungkinan bahan
yang dapat dipakai, pemilihan bahan dilakukan berdasarkan pH tertinggi, sebab
pH yang tinggi akan mengakibatkan penurunan tegangan permukaan minyak. Bahan
kimia yang menghasilkan pH tinggi pada konsentrasi yang rendah adalah NaOH.
Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kondisi optimum pada injeksi
alkaline dicapai dengan konsentrasi NaOH 0,1 % berat dan ukuran slugnya sekitar
15% volume pori, selain itu bahan kimia injeksi ini paling murah dibandingkan
dengan bahan untuk injeksi kimia lainnya.
1. Parameter yang
mempengaruhi Injeksi alkaline
Beberapa parameter yang
banyak mempengaruhi dalam proses injeksi alkalin antara lain adalah konsentrasi
NaOH, karakteristik reservoir, luas permukaan serta komposisi fluida reservoir
dan air injeksi.
Bahan Kimia
Injeksi Alkaline
Bahan kimia yang umumnya
banyak dipakai adalah sodium hidroksida. Sodium orthosilikat,
ammonium hidroksida, pottassium hidroksida, trisodium phospat, sodium karbonat,
sodium silikat dan poly ethylenimine, juga termasuk zat organik yang
dianjurkan untuk dipakai. Harga dari bahan-bahan kimia tersebut merupakan
pertimbangan yang penting dimana NaOH dan sodium orthisilikat tidak
begitu mahal dan lebih efektif dalam menaikkan perolehan minyak tambahan.
Dalam injeksi alkaline
terdapat beberapa mekanisme, yaitu penurunan tegangan enter permukaan,
emulsifikasi, perubahan kebasahan dan penghancuran rigid interfacial film, dimana semua itu dapat menyokong terhadap
kenaikan recovery minyak.
Akibat dari mekanisme
diatas secara makroskopis adalah perbaikan areal dan volumetrik sweep
efisiency, yaitu dengan perubahan mobility ratio atau perubahan permeabilitas
minyak-air. Percobaen injeksi alkaline di laboratorium menunjukkan perbaikan
penyapuan minyak.
Sedangkan secara
mikroskopis adalah merubah minyak yang tak dapat bergerak (immobile) dalam media berpori menjadi dapat bergerak (mobilized), yaitu dengan emulsifikasi
dan penurunan tegangan antar permukaan. Dalam aplikasi injeksi ini di lapangan,
disarankan untuk melakukan pilot test
terlebih dahulu, yaitu sebagai kelanjutan dari evaluasi laboratorium.
Kelebihan injeksi
alkaline dalam menutupi kebutuhan injeksi lainnya sehubungan dengan
permasalahan teknis, adalah karena injeksi alkaline baik pada kondisi :
·
Gravity
dari menengah sampai tinggi (13 - 35°API).
·
Viskositas tinggi (sampai 200 cp).
·
Salinitas
cukup tinggi (sampai 20000 ppm).
Dasar pertimbangan yang digunakan untuk memilih metoda
pendesakan surfactant pada suatu reservoir yang diperoleh dari data empiris
diantaranya meliputi :
1.
Sifat
fisik fluida reservoir yang terdiri dari : gravity minyak, viskositas minyak,
komposisi dan kandungan chloridanya.
2.
Sifat fisik batuan reservoir yang
terdiri dari : saturasi minyak sisa, tipe formasinya, ketebalan, kedalaman,
permeabilitas rata-rata dan temperaturnya.
II. Injeksi Polimer
Injeksi
polimer pada dasarnya merupakan injeksi air yang disempurnakan. Penambahan
polimer ke dalam air injeksi dimaksudkan untuk memperbaiki sifat fluida
pendesak, dengan harapan perolehan minyaknya akan lebih besar. Injeksi polimer
dapat meningkatkan perolehan minyak yang cukup tinggi dibandingkan dengan
injeksi air konvensional. Akan
tetapi mekanisme pendesakannya sangat kompleks dan tidak dipahami seluruhnya.
Jika minyak reservoir lebih sukar bergerak dibandingkan dengan air pendesak,
maka air cenderung menerobos minyak, hal ini akan menyebabkan air cepat
terproduksi, sehingga effisiensi pendesakan dan recovery minyak rendah. Pada kondisi reservoir seperti diatas, injeksi polimer dapat digunakan.
Polymer yang terlarut dalam air injeksi akan mengentalkan air, mengurangi
mobilitas air dan mencegah air menerobos minyak. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam injeksi polimer adalah heterogenitas
reservoir dan perbandingan mobilitas fluida reservoir.
·
Heterogenitas
reservoir
Pada umumnya, reservoir minyak terdiri atas
banyak lapisan dengan sifatnya yang beragam. Dalam pengertian EOR,
permeabilitas reservoir merupakan faktor utama yang penting disamping rekahan.
Variasi permeabilitas dan rekahan dapat berpengaruh besar terhadap aliran
fluida dalam reservoir, sehingga mempengaruhi perolehan minyak. Efisiensi penyapuan volumetrik merupakan ukuran pengaruh tiga dimensi
dari heterogenitas reservoir. Hasil tersebut merupakan hasil dari pola
penyapuan vertikal dan horizontal. Effisiensi penyapuan volumetrik
didefinisikan sebagai volume pori resevoir yang terkena kontak dengan fluida
injeksi dibagi dengan volume pori total (Townsend
et al, 1977). Bisa dikatakan bahwa effisiensi penyapuan vertikal
merupakan fungsi dari karakteristik reservoir itu sendiri, sementara effisiensi
penyapuan horizontal merupakan fungsi dari karakteristik reservoir dan lokasi
sumur. Polimer dapat
mengurangi pengaruh yang merugikan dari variasi permeabilitas dan rekahan,
sehingga dengan demikian dapat memperbaiki effisiensi penyapuan vertikal dan
horizontal.
·
Perbandingan mobilitas
Meskipun tidak terdapat
heterogenitas reservoir, effisiensi penyapuan dapat menjadi rendah karena
adanya perbandingan mobilitas yang tidak menguntungkan. Mobilitas fluida dalam
reservoir didefinisikan sebagai permeabilitas media terhadap fluida dibagi
dengan viscositas fluida
Gambar. Mekanisme
Injeksi Polymer
III. Injeksi Surfactant
Injeksi surfactant digunakan untuk menurunkan
tegangan antarmuka minyak-fluida injeksi supaya perolehan minyak meningkat. Jadi effisiensi injeksi meningkat
sesuai dengan penurunan tegangan antarmuka
·
Parameter yang mempengaruhi
Injeksi Surfactant
parameter-parameter penting yang menentukan
kinerja injeksi surfactant, yaitu :
1. Geometri pori
2. Tegangan antarmuka
3. Kebasahan atau sudut kontak
4. ΔP atau ΔP/L
5.
Karakteristik perpindahan kromatografis surfactant
pada sistem tertentu
Injeksi surfactant ini ditujukan untuk memproduksikan residual oil yang
ditinggalkan oleh water drive, dimana minyak yang terjebak oleh tekanan
kapiler, sehingga tidak dapat bergerak dapat dikeluarkan dengan menginjeksikan
larutan surfaktan. Percampuran surfactant dengan minyak membentuk emulsi yang
akan mengurangi tekanan kapiler.
Setelah minyak dapat bergerak, maka diharapkan tidak ada lagi minyak yang
tertinggal. Pada surfaktan flooding kita tidak perlu menginjeksikan surfaktan
seterusnya, melainkan diikuti dengan fluida pendesak lainnya, yaitu air yang
dicampur dengan polymer untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan akhirnya
diinjeksikan air.
Untuk
memperbaiki kondisi reservoir yang tidak diharapkan, seperti konsentrasi ion
bervalensi dua, salinitas air formasi yang sangat tinggi, serta absorbsi batuan
reservoir terhadap larutan dan kondisi-kondisi lain yang mungkin dapat
menghambat proses surfaktan flooding, maka perlu ditambahkan bahan-bahan kimia
yang lain seperti cosurfaktan (umumnya alkohol) dan larutan NaCl. Disamping kedua additive diatas, yang perlu diperhatikan dalam
operasi surfaktan flooding adalah kualitas dan kuantitas dari zat tersebut.
Gambar. Mekanisme
Injeksi Surfactant
Pada dasarnya ada dua konsep yang telah dikembangkan dalam penggunaan
surfactant untuk meningkatkan perolehan minyak. Konsep pertama adalah larutan
yang mengandung surfactant dengan konsentrasi rendah diinjeksikan. Surfactant
dilarutkan di dalam air atau minyak dan berada dalam jumlah yang setimbang
dengan gumpalan-gumpalan surfactant yang dikenal sebagai micelle. Sejumlah
besar fluida (sekitar 15 – 60% atau lebih) diinjeksikan ke dalam reservoir
untuk mengurangi tegangan antarmuka antara minyak dan air, sehingga dapat
meningkatkan perolehan minyak. Pada konsep kedua,
larutan surfactant dengan konsentrasi yang lebih tinggi diinjeksikan ke dalam
reservoir dalam jumlah yang relatif kecil (3 – 20% PV). Dalam hal ini, micelles yang terbentuk bisa berupa
dispersi stabil air di dalam hidrokarbon atau hidrokarbon di dalam air. Surfactant adalah bahan kimia yang molekulnya selalu mencari tempat
diantara dua fluida yang tidak mau bercampur dan surfactant mengikat kedua
fluida tersebut menjadi emulsi. Surfactant yang berada di dalam slug harus
dibuat agar membentuk micelle, yaitu surfactant yang aktif dan mampu
mengikat air dan minyak pada konsentrasi tertentu. Jika konsentrasinya masih
kecil, maka campuran surfactant tersebut masih berupa monomor (belum aktif).
Untuk itu setiap slug perlu diketahui CMC-nya (Critical Micelles Cocentration)
yaitu konsentrasi tertentu, sehingga campuran surfactant yang semula monomor
berubah menjadi micelle.
- Bahan-bahan yang digunakan dalam injeksi surfactant
Penentuan kuantitas dan kualitas surfactant
yang digunakan untuk injeksi perlu diketahui agar residu oil yang tertinggal
bisa didesak dan diproduksikan dengan cara menurunkan tegangan permukaan
minyak-air. Untuk memperbaiki kondisi reservoir yang tidak diharapkan, yang
dapat menghambat operasi injeksi surfactant, maka perlu ditambahkan bahan-bahan
kimia lain seperti kosurfactant dan larutan NaCl. Setelah kuantitas dan
kualitas surfactant serta additive ditentukan, maka dilakukan pencampuran
larutan. Larutan ini dapat berbentuk larutan biasa atau dalam bentuk
microemulsion.
Surfactant yang umum dipakai dalam proses eksploitasi EOR adalah sodium sulfonate yang ionik bermuatan negatif. Sedangkan jenis lain jarang dipakai. Larutan surfactant yang biasa digunakan di lapangan untuk pendesakan minyak sisa hasil pendorongan air, terdiri dari komponen surfactant, air, minyak dan alkohol sebagai cosurfactant. Campuran cairan surfactant ini diijeksikan ke dalam reservoir sebagai slug kemudian didorong oleh larutan polimer untuk memperbaiki mobilitas aliran, selanjutnya diikuti pendorongan air agar hemat bahan polimer. Slug yang biasa digunakan dari 5 - 15 % PV (Pore Volume), diharapkan kemampuannya menghasilkan tambahan perolehan diatas perolehan jika digunakan secondery recovery.
Surfactant yang umum dipakai dalam proses eksploitasi EOR adalah sodium sulfonate yang ionik bermuatan negatif. Sedangkan jenis lain jarang dipakai. Larutan surfactant yang biasa digunakan di lapangan untuk pendesakan minyak sisa hasil pendorongan air, terdiri dari komponen surfactant, air, minyak dan alkohol sebagai cosurfactant. Campuran cairan surfactant ini diijeksikan ke dalam reservoir sebagai slug kemudian didorong oleh larutan polimer untuk memperbaiki mobilitas aliran, selanjutnya diikuti pendorongan air agar hemat bahan polimer. Slug yang biasa digunakan dari 5 - 15 % PV (Pore Volume), diharapkan kemampuannya menghasilkan tambahan perolehan diatas perolehan jika digunakan secondery recovery.
Komentar
Posting Komentar