Jalan Menuju Iman : Iman Kepada Allah, Muhammad adalah Utusan Allah, dan Al-Quran merupakan Kalamullah
Jadi, iman kepada Allah itu dapat
dicapai melalui akal, dan memang harus demikian. Iman kepada Allah akan menjadi
dasar kuat bagi kita untuk beriman terhadap perkara-perkara ghaib dan segala hal yang dikabarkan
Allah SWT. Jika kita telah beriman kepada Allah SWT yang memiliki sifat-sifat
ketuhanan, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang
dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dijangkau oleh akal maupun tidak,
karena semuanya dikabarkan oleh Allah SWT. Dari sini kita wajib beriman kepada
Hari Kebangkitan dan Pengumpulan di Padang Mahsyar, Surga dan Neraka, hisab dan siksa. Juga beriman terhadap
adanya malaikat, jin, dan syaitan, serta apa saja yang telah diterangkan
Al-Quran dan hadits yang qath’i. Iman
seperti ini, walaupun diperoleh dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan ‘mendengar’ (sama’),
akan tetapi pada hakekatnya merupakan iman yang aqli juga. Sebab, dasarnya telah dibuktikan oleh akal. Jadi, akidah
seorang Muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti
dasar kebenarannya oleh akal. Seorang Muslim wajib meyakini segala sesuatu yang
telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan
pasti (qath’i), yaitu apapun yang
telah ditetapkan oleh Al-Quran dan hadits qath’i
-yaitu hadits mutawatir-. Apa saja
yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al-Quran dan
hadits mutawatir, haram baginya untuk
mengimani. Akidah tidak boleh diambil kecuali dengan jalan yang pasti.
Berdasarkan penjelasan ini, maka
kita wajib beriman kepada apa yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah
SWT; dan kepada kehidupan setelah dunia, yaitu Hari Akhirat. Bila sudah
diketahui bahwa perintah-perintah Allah merupakan hubungan antara kehidupan
dunia dengan kehidupan sebelumnya, terkait dengan hubungan penciptaan;
sedangkan perhitungan amal manusia atas apa yang dikerjakannya di dunia
merupakan keterkaitan dengan kehidupan setelah dunia, maka kehidupan dunia ini
harus dihubungkan dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada
sesudahnya. Manusia harus terikat dengan hubungan tersebut. Karena itu, manusia
wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah, dan wajib
meyakini bahwa ia akan di-hisab di
hari kiamat nanti atas seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.
Dengan demikian terbentuklah al-fikru al-mustanir tentang apa yang
ada di balik alam semesta, hidup, dan manusia. Telah terbentuk pula al-fikru al-mustanir tentang apa yang
ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Bahwasannya kehidupan
tersebut memiliki hubungan antara apa yang ada sebelum dan sesudahnya. Dengan
demikian, terurailah problematika pokok secara sempurna dengan akidah
Islamiyah.
Apabila manusia berhasil memecahkan
perkara ini, maka ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar dan produktif tentang
kehidupan ini. Pemecahan inilah yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu mabda (ideologi) yang dijadikan sebagai
jalan menuju kebangkitan. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya
hadlarah yaitu suatu peradaban yang
bertitik tolak dari mabda tadi.
Disamping menjadi dasar yang melahirkan peraturan-peraturan dan dasar
berdirinya Negara Islam. Dengan demikian, dasar bagi berdirinya Islam —baik
secara fikrah (ide dasar) maupun thariqah (metoda pelaksanaan bagi fikrah)— adalah akidah Islam.
Allah SWT Berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang
diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya
dan Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan Hari Akhir maka ia telah sesat
sejauh-jauh kesesatan” (TQS. An-Nisa
[4]: 136).
Apabila semua ini telah terbukti,
sedangkan iman kepada-Nya adalah suatu keharusan, maka wajib bagi setiap Muslim
untuk beriman kepada syariat Islam secara total. Karena seluruh syariat ini
telah tercantum dalam Al-Quran dan dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak
beriman, berarti ia kafir. Karena itu penolakan seseorang terhadap hukum-hukum
syara’ secara keseluruhan, atau hukum-hukum qath’i
secara rinci, dapat menyebabkan kekafiran, baik hukum-hukum itu berkaitan
dengan ibadat, muamalah, ‘uqubat (sanksi),
ataupun math’umat (yang berkaitan
dengan makanan). Jadi kufur terhadap
ayat:
Sama saja kufur terhadap ayat:
“Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” [TQS. Al-Baqarah (2):275]
“Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (TQS. Al-Maidah [5]: 38).
Atau ayat:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” (TQS. Al-Maidah [5]: 3).
Perlu diketahui bahwa iman terhadap
syariat Islam tidak cukup dilandaskan pada akal semata, tetapi juga harus
disertai sikap penyerahan total dan penerimaan secara mutlak terhadap segala
yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:
“Maka demi Rabbmu, mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum
mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan
terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (pasrah) dengan
sepenuhnya” (TQS. An-Nisa [4]: 65).
Komentar
Posting Komentar