Jalan Menuju Iman : Keimanan pada Sang Pencipta



Memang benar, iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan hal yang fitri pada setiap manusia.😊 Hanya saja, iman yang fitri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani belaka. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangatlah riskan akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama. Dalam kenyataannya, perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang diimaninya. Tanpa sadar, cara tersebut justru menjerumuskannya ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong) dan ajaran kebathinan, tidak lain merupakan akibat kesalahan perasaan hati ini. Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah sifat-sifat Allah SWT dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan; atau memberinya kesempatan untuk mengkhayalkan penjelmaan-Nya dalam bentuk materi; atau beranggapan bahwa untuk mendekatkan diri kepada-Nya dapat ditempuh melalui penyembahan benda-benda, sehingga menjurus ke arah kekufuran, syirik, khurafat, dan imajinasi keliru yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus. Karena itu, Islam menegaskan agar senantiasa menggunakan akal disamping adanya perasaan hati. Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah SWT, serta melarang bertaqlid dalam masalah akidah. Untuk itulah, Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah, sebagaimana yang firman Allah SWT: 🙏💓

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 190).

Dengan demikian setiap Muslim wajib menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta senantiasa bertahkim (merujuk) kepada akalnya secara mutlak dalam beriman kepada (adanya) Allah SWT. Ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama, dalam rangka mencari sunatullah serta untuk memperoleh petunjuk agar beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh Al-Quran dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya. Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang lemah, melainkan iman yang berpijak pada pemikiran yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitarnya), berpikir dan berpikir. Melalui pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa.

Kendati wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Sebab akal manusia terbatas. Terbatas pula kekuatannya sekalipun meningkat dan bertambah sampai batas yang tidak dapat dilampauinya; terbatas pula jangkauannya. Melihat kenyataan ini, maka perlu diingat bahwa akal tidak mampu memahami Zat Allah dan hakekat-Nya. Sebab, Allah SWT berada di luar ketiga unsur pokok (alam semesta, manusia, dan hidup) tadi. Sedangkan akal manusia tidak mampu memahami apa yang ada di luar jangkauannya. Ia tidak akan mampu memahami Zat Allah. Tetapi bukan berarti dapat dikatakan “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Zat Allah?” Tentu, kita tidak mengatakan demikian, karena pada hakekatnya iman itu adalah percaya terhadap wujud Allah SWT. Sedangkan wujud-Nya dapat diketahui melalui makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia, dan hidup. Tiga unsur ini berada dalam batas jangkauan akal manusia. Dengan memahami ketiga hal ini, orang dapat memahami adanya Pencipta, yaitu Allah SWT. Karena itu, iman terhadap adanya Allah dapat dicapai melalui akal, dan berada dalam jangkauan akal. Usaha manusia untuk memahami hakekat Zat Allah SWT merupakan perkara yang mustahil untuk dicapai. Sebab, Zat Allah berada di luar unsur alam semesta, manusia, dan hidup. Dengan kata lain berada di luar jangkauan kemampuan akal. Akal tidak mungkin memahami hakekat yang ada di luar batas kemampuannya, karena perannya amat terbatas. Seharusnya keterbatasannya itu justru menjadi faktor penguat iman, bukan sebaliknya malah menjadi penyebab keragu-raguan dan kebimbangan.


Apabila iman kita kepada Allah SWT telah dicapai melalui proses berfikir, maka kesadaran kita terhadap adanya Allah menjadi sempurna. Begitu pula jika perasaan hati kita (yang timbul dari wijdan, pent.) mengisyaratkan adanya Allah, lalu dikaitkan dengan akal, tentu perasaan tersebut akan mencapai suatu tingkat yang meyakinkan. Bahkan hal itu akan memberikan suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang meyakinkan terhadap sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya, cara tersebut akan meyakinkan kita bahwa manusia tidak sanggup memahami hakekat Zat Allah. Sebaliknya hal ini justru akan memperkuat iman kita kepada-Nya. Disamping keyakinan seperti ini, kita wajib berserah diri terhadap semua yang dikhabarkan Allah SWT tentang hal-hal yang yang tidak sanggup dicerna atau yang tidak dapat dicapai oleh akal. Ini disebabkan lemahnya akal manusia yang memiliki ukuran-ukuran nisbi yang serba terbatas kemampuannya, untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan akalnya. Padahal untuk memahami hal semacam ini, diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki dan tidak akan pernah dimiliki manusia.
😚😍


Syekh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani

Y Lim 

Komentar

Postingan Populer