Tiga Tahapan Penegakan Islam
Sebuah riwayat menyebutkan, ketika Nabi ﷺ melakukan perjalanan dalam haji wada, beliau meminta Abdullah bin Abbas رضي الله عنه mengambilkan beberapa batu untuk melontar jumrah. Setelah melontar, lisan beliau mengucap nasihat bagi para sahabat,
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam agama.” (HR. Ibnu Majah)
Selain adanya larangan bersikap ghuluw, Rasulullah ﷺ juga berulang kali mengingatkan para sahabat agar tidak memberatkan diri dalam beramal. Baik dalam beribadah maupun dalam muamalah, semuanya harus dilakukan dengan tuntunan yang telah Rasulullah ﷺ contohkan.
Demikian juga dalam penegakkan syariat, dakwah atau upaya untuk mengembalikan syariat agar tegak kembali secara kaffah juga harus dilandaskan kepada tuntunan yang dicontohkan Nabi ﷺ. Tidak boleh ghuluw (berlebih-lebihan) atau gegabah dalam bertindak. Ghuluw di sini bermakna ingin mendakwahkan syariat dengan cara-cara yang melampaui batas yang telah dituntun Nabi ﷺ. Seperti lebih suka menghakimi/memvonis daripada menyampaikan hujjah atau mengedepankan konfrontasi daripada dakwah. Sikap seperti ini jelas bertentangan dengan cara yang dikehendaki Islam.
Karena itu, upaya mengembalikan syariat agar bisa diamalkan secara kaffah, butuh formulasi yang tidak menyimpang dari kehendak islam itu sendiri. Syaikh Safar Al-Halawi, dalam buku Al-Muslimiun Wal Hadharah Gharbiyah, menuliskan bahwa upaya untuk mengembalikan syariat Islam agar tegak dengan sempurna harus dilalui secara bertahap (tadarruj). Menurutnya, secara umum ada tiga tahapan yang perlu diperhatikan oleh setiap mukmin:
- Tahapan Dakwah
Dakwah merupakan jihad pemikiran, yaitu menyampaikan ilmu dengan menawarkan nilai-nilai Islam. Tahapan ini harus dilalui walaupun butuh waktu yang lama dengan kondisi yang terus berubah-ubah. Butuh upaya yang sungguh-sungguh dalam menjalankannya. Sebab, dakwah bukanlah tugas yang mudah. Ia merupakan jalan yang cukup panjang, berliku, menanjak penuh rintangan dan cobaan. Karena itu, jalan yang berat ini hanya mampu dipikul oleh para nabi dan orang-orang yang istiqomah menapaki petunjuk mereka.
قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّـهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Dalam ayat di atas, seorang mukmin dituntut untuk mengikuti tuntunan Rasulullah ﷺ dalam berdakwah. Yaitu atas dasar bashirah; ilmu dan keyakinan. Dalam makna lain, dakwah merupakan tuntutan iman, yang jika seorang mukmin meninggalkan kewajiban dakwah berarti ada masalah dengan keimanannya. Dalam berdakwah perlu didasari dengan ilmu yang lurus.
Tentang bagaimana metode yang diterapkan para nabi dalam menyampaikan dakwah, dalam Al-Quran, Allah ta’ala menurunkan sebuah metode yang tepat dalam menyampaikan misi dakwah. Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Seruan dakwah harus dilaksanakan dengan lemah lembut dan bijaksana. Tidak memaksa dan tidak pula langsung menghakimi sesat bagi yang berseberangan dengan seruannya. Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir menerangkan,
“Allah Ta’ala memerintahkan Nabi ﷺ untuk bersikap lemah lembut, seperti halnya yang telah Dia perintahkan kepada Musa dan Harun, ketika keduanya diutus Allah Ta’ala kepada Fir’aun, yang kisahnya disebutkan dalam firman-Nya:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44) (Tafsir Ibnu Katsir, 4/613)
Sehingga dalam tahapan dakwah ini, seorang da’i harus merangkul umat, menjaga ikatan persaudaraan dan mencari titik simpul yang mampu menyatukan seluruh umat Islam. Harapannya, melalui tahapan ini, umat tersadarkan dengan pentingnya penegakkan syariat dalam hidup mereka. Karena itu, prinsip dalam tahapan ini harus sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ:
بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا ، وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا
“Beri kabar kabar gembiralah dan jangan buat ia kabur, mudahkanlah dan jangan mempersulit,” (HR. Muslim)
- Tahapan Iqamatul Hujjah (menegakkan hujjah)
Yaitu perpanjangan dari tahapan yang pertama. Ini dilakukan setelah jalan dakwah dirasa sudah buntu. Menegakkan hujjah dilakukan terhadap mereka yang terindikasi syubhat dan menentang seruan dakwah atau bagi mereka yang membutuhkan dialog dan tukar pikiran. Tata caranya pun harus dimulai dengan cara yang baik dan tidak lepas dari norma-norma akhlak karimah.
Ketika menjelaskan QS. An-Nahl: 25 di atas; ‘Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik,’ Ibnu Katsir menuliskan, ‘Barangsiapa yang membutuhkan dialog dan tukar pikiran, maka hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut, serta tutur kata yang baik. Yang demikian itu sama seperti firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dhalim di antara mereka,” dan ayat seterusnya.” (QS. Al-‘Ankabuut: 46) (lihat: Tafsir Ibnu Katsir, 4/613)
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan: 52)
Sehubungan dengan pengertian ini, Ibnu Qayyim menjelaskan, “Tidak diragukan lagi bahwa perintah jihad mutlak datang setelah hijrah. Adapun jihad hujjah (jihad keterangan) diperintahkan sejak di Mekah dengan firman-Nya,”Maka janganlah kami mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” inilah surah makiyyah, dan jihad di dalamnya adalah jihad tabligh dan jihad hujjah,” (Ibnu Qayyim, Zadul Ma’ad, 2/30)
Maknanya, tahapan iqamatul hujjah ini masih dalam katagori jihad pemikiran. Tidak ada kekerasan di dalamnya. Seorang da’i hanya berhak menyampaikan argumentasi sesuai dengan tingkat logika lawan yang dihadapi.
- Tahapan Muqawamah (perlawanan)
Tahapan ini merupaka tahapan terakhir yang harus ditempuh umat islam dalam berdakwah. Sebab, bagaimana pun juga perjalanan dakwah selalu dihadang oleh musuh yang tidak ingin tegaknya Islam di muka bumi ini. Ketika dakwah dengan hujjah (argumentasi) tidak lagi efektif, justru yang diperoleh umat Islam diserang dan intimidasi, maka di sinilah perlunya tahapan muqawamah (perlawanan). Oleh sebab itu, penjagaan terhadap Islam tidak cukup hanya dengan dakwah, namun juga harus dikawal oleh jihad fi sabilillah. Allah ta’ala berfirman:
“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Seungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”(QS. Al-Hajj: 40)
Imam Al-Qurthubi berkata, “Seandainya Allah ta’ala tidak mensyariatkan jihad untuk memerangi musuh, niscaya orang-orang musyrik akan berkuasa dan akan mengingkari seluruh syariat Allah. Akan tetapi, Allah ta’ala mewajibkan jihad memerangi mereka agar kaum muslimin bisa leluasa dalam beribadah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 12/70)
Begitu juga dalam hadits, Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa jihad sebagai pengawal tegaknya dakwah akan terus berlangsung hingga hari kiamat terjadi. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِيَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِيْ الدَّجَّالَ لاَ يُبْطِلُهُ جُوْرُ جَائِرٍ وَلاَ عَدْلُ عَادِلٍ
“Jihad akan terus berlangsung sejak Allah mengutusku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal, ia tidak akan dihentikan oleh kejahatan orang jahat ataupun keadilan orang adil.” (HR. Abu Daud)
Perlu dipahami bahwa ini merupakan tahapan terakhir dalam memenangkan Islam. Yakni dilakukan setelah dakwah dan menegakkan hujjah terlaksana dengan baik. Sebab melalui jalan ini, Khilafah rasyidah sebagai sistem yang menerapkan syariat Islam mampu ditegakkan kembali. Namun sayangnya, sebagian aktivis yang memiliki semangat tinggi tidak dikawal dengan ilmu yang lurus. Sehingga tahapan-tahapan seperti ini tidak lagi dihiraukan.
Keinginan untuk memenangkan Islam, mereka awali dengan cara memvonis sesat/kafir terhadap orang yang menyelisihi mereka atau memerangi orang-orang kafir/munafik sebelum ditegakkannya hujjah. Padahal dalam perjalanan dakwah Nabi Muhammad ﷺ, kita bisa melihat betapa beliau menyadarkan umat setahap demi setahap.
Beliau mengawalinya dengan cara berdakwah. Menyeru orang-orang musyrik agar menerima Islam. Butuh waktu yang panjang dalam berdakwah. Tidak cukup hanya menyampaikan wahyu, beliau juga harus membantah segala syubhat yang sengaja diciptakan musuh agar umatnya ragu terhadap ajaran Islam. Berikutnya dua tahun setelah hijrah baru kemudian syariat jihad diturunkan untuk melawan para tirani yang menghalangi tegaknya keadilan di muka bumi.
Sehingga bila kita perhatikan perjalanan Nabi ﷺ dalam memenangkan Islam, beliau lebih lama melaluinya dengan jihad pemikiran, yaitu dengan cara berdakwah dan menegakkan hujjah. Terhitung sejak periode mekah tiga belas tahun dan ditambah dua tahun setelah hijrah ke Madinah. Artinya untuk melalui tahapan pertama dan kedua itu butuh waktu yang tidak sebentar. Jadi, salah besar bila semangat menegakkan Islam diawali dengan jihad senjata sementara jihad dengan pemikiran dan menegakkan hujjah belum ditempuh dengan maksimal. Wallahu a’lamu bissowab
Almas Yuslim
Komentar
Posting Komentar