Muhrim
kata
“muhrim” dalam bahasa Arab berarti “orang yang sedang berihram”, sedangkan
yang dimaksud oleh penanya dalam bahasa Arab disebut “mahram”. Mahram adalah orang perempuan atau
laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan,
atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya.
Dari
definisi di atas, dapat diketahui bahwa hubungan mahram dapat terjadi karena
tiga sebab, yaitu:
1. Mahram sebab Keturunan
Orang-orang
yang termasuk mahram sebab keturunan ada tujuh, sebagaimana firman Allah:
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[QS. an-Nisâ’
(4): 23]
Berdasarkan
ayat di atas, dapat diketahui bahwa orang-orang yang termasuk mahram, yaitu
yang tidak boleh dinikahi dengan sebab keturunan ada tujuh golongan, yaitu:
1.
ibu-ibumu;
2.
anak-anakmu yang perempuan
3.
saudara-saudaramu yang perempuan;
4.
saudara-saudara ayahmu yang perempuan;
5.
saudara-saudara ibumu yang perempuan;
6.
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
7.
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
Anak akibat dari perzinahan termasuk mahram, dengan
berdalil pada keumuman firman Allâh; “...anak-anakmu
yang perempuan” [QS. An-Nisâ’ (4): 23].
2.
Mahram sebab Susuan
Mahram
sebab susuan ada tujuh golongan, sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa
pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh
al-Hâfizh 'Imâdud-Din Ismâ'il bin Katsir [Tafsirul-Qur’ânil-Azhim, 1/511].
“Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra, dia berkata bahwa Nabi saw bersabda tentang putri Hamzah:
“Dia tidak halal bagiku, darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan
oleh darah keturunan, dan dia adalah putri saudara sepersusuanku
(Hamzah)".” [HR. al-Bukhâri]
Al-Qur'ân
menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan, yaitu yang terdapat
pada QS. an-Nisâ’ (4): 23:
(1) dan ibu-ibumu yang menyusui kamu;
(2)
dan saudara-saudara perempuan sepersusuan.
3.
Mahram sebab Perkawinan
Mahram
sebab perkawinan ada enam golongan, yaitu:
a.
"Dan ibu-ibu istrimu (mertua)" [QS. an-Nisâ’ (4): 23]
b.
"Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)" [QS. an-Nisâ’ (4): 23]
c.
"Dan anak-anak istrimu yang dalam pemelihraanmu dari istri yang telah kamu
campuri" [QS. an-Nisâ’ (4): 23]
Menurut
Jumhur Ulama, termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan seseorang
mempunyai hubungan mahram dengannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah
dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya
setelah bercerai dengan ibunya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang
dinikahi menjadi mahram hanya sebab akad nikah, walaupun si puteri belum
dicampuri, kalau sudah akad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi
puterinya.
d. "Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)" [QS.
an-Nisâ’ (4): 22]
Wanita
yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah,
walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
e. "Dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara" [QS. an-Nisâ’ (4): 23]
Rasulullah
saw melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya
dari pihak ibu, dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak
ayah. Nabi saw bersabda: “Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda: ‘Tidak boleh perempuan dihimpun
dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya’.” [HR.
Muslim].
f. "Dan diharamkan juga kamu mengawini
wanita yang bersuami" [QS. an-Nisâ’ (4): 24]
Mahram
disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, begitu pula mahram disebabkan
pernikahan. Kecuali menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan
dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, bila yang
satu meninggal dunia maka boleh menikah dengan yang lain, karena bukan
menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Usman bin Affan menikahi Ummu
Kulsum setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi saw.
Demikianlah
perempuan-perempuan yang termasuk mahram yang tidak boleh dinikahi oleh seorang
laki-laki. Adapun perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram,
sehingga halal dinikahi.
"Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina" [QS. an-Nisâ’ (4): 24].
BeberapaKetentuan
Untuk Mahram
Ada
beberapa ketentuan dalam agama Islam yang berkaitan dengan mahram, selain dari
larangan menikahi. Di antaranya batasan aurat perempuan bagi mahram abadi
adalah seluruh badan selain wajah, kepala, leher dan betis (di bawah lutut).
Sedangkan untuk mahram mu’aqqat (tidak abadi) adalah seluruh badan kecuali
wajah dan telapak tangan. Aurat laki-laki bagi mahram dan selain mahram adalah
antara pusar dan lutut.
“Katakanlah olehmu (wahai Muhammad) kepada
para lelaki mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan
memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah maha Mengetahui pada apa-apa yang mereka perbuat. Dan
katakanlah kepada para wanita mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan
mereka dan memelihara kemaluan mereka dan tidak menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang biasa tampak darinya ...” [QS. an-Nûr (24): 30]
Dan
hadits Nabi Muhammad saw :
“Rasulullah
saw bersabda kepada Asma’: “Wahai Asma’! sesungguhnya seorang perempuan yang
sudah haid tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini” dan dia
mengisyaratkan kepada wajah dan kedua telapak tangannya.”
[HR. Abu Dawud]
Di
samping itu, pada dasarnya setiap orang tidak dilarang berduaan dengan
mahramnya, namun akan lebih baik jika dia mengusahakan untuk tidak pernah
berduaan dalam suatu kamar, khususnya dengan mahram mu’aqqat (ipar atau bibi
istri) untuk suatu hal yang tidak penting, demi menyelamatkan diri dari fitnah..
Komentar
Posting Komentar