Demonstrasi dalam Kaidah Fikih
Selama beberapa tahun terakhir, umat Islam Indonesia dibuat marah oleh pernyataan seorang gubernur kafir yang menistakan Al-Qur’an. Gubernur itu menyebut keharaman memilih pemimpin kafir (non-muslim) merupakan bentuk pembodohan. Ia menunjuk surat Al-Maidah ayat 51.
Serta, peristiwa pembakaran bendera Tauhid. Oleh, anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) membakar bendera tauhid saat peringatan Hari Santri Nasional (HSN) di Garut.
Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam, ulama-ulama Islam, dan tokoh-tokoh Islam menuntut pemerintah untuk menangkap dan mengadili gubernur atas tuduhan menistakan Al-Qur’an. Namun pemerintah terkesan melindungi gubernur non-muslim tersebut. Suara jutaan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini tidak digubris pemerintah. Tak ayal, para ulama, ormas, dan tokoh Islam pun mengajak umat Islam untuk melakukan demonstrasi demi membela kemuliaan Al-Qur’an.
Fatwa Ganjil Segelintir Juru Dakwah
Dalam suasana tersebut, hal yang cukup mengherankan adalah adanya segelintir juru dakwah yang justru getol memfatwakan keharaman demonstrasi. Sebagian di antara mereka bahkan menyamakan massa demonstran dengan kelompok sesat Khawarij dan Bughat (pemberontak terhadap khalifah Islam yang adil).
Fatwa mereka seolah tidak relevan dengan kondisi umat Islam di Indonesia. Bagaimana tidak? Indonesia sendiri adalah sebuah negara republik yang menganut sistem demokrasi sekuler. Sebagaimana umumnya negara-negara demokrasi lainnya di dunia, aksi demonstrasi untuk menyuarakan hak adalah tindakan legal yang diakui dan dilindungi oleh hukum sekuler yang berlaku di Indonesia. Menurut UU yang berlaku di Indonesia, aksi demonstrasi itu sah-sah saja dan tidak masalah.
Sebelum menjatuhkan vonis haram, Khawarij, dan bughat kepada massa demonstran; tentunya para juru dakwah tersebut harus lebih dahulu bersikap jujur dan obyektif. Mereka harus lebih dahulu membahas dan mengeluarkan fatwa atas beberapa persoalan yang melatar belakangi demonstrasi umat Islam tersebut.
Beberapa persoalan tersebut adalah:
1. Menurut syariat Islam, bolehkah orang-orang sekuler ber-KTP Islam dan orang-orang kafir asli menjadi pemimpin atas umat Islam?
2. Menurut syariat Islam, bagaimana hukum pemimpin yang mencampakkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan menggantinya dengan hukum sekuler dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
3. Menurut syariat Islam, bolehkah orang-orang sekuler ber-KTP Islam dan orang-orang kafir asli menistakan dan melecehkan Al-Qur’an?
Kejujuran dalam mengkaji dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas berdasarkan syariat Islam, akan menuntun seorang juru dakwah untuk menyikapi realita umat Islam secara benar pula.
Komentar
Posting Komentar