SUNNAH


Sunnah itu cinta.
.
Kita ingat hari itu di Uhud. Ketika hantaman itu mengenai salah satu sisi wajah beliau ﷺ.  Dengan helm baja bertali rantai, benturan keras itu melesakkan cincin-cincin besinya ke dalam pelipis. Dari ujung bibir meleleh pula darah, sebab memar di pipi rupanya hanya tampak luar dari pukulan yang telah memecahkan gigi di dalam rongga mulutnya.
.
Wajah mulia itu meringis merasakan sakit.
.
Beberapa sahabat memapahnya menepi. Nun di tengah pertempuran, sebuah jasad agung lain yang seperawakan dengan beliau ﷺ  rubuh. Panji-panji itu akhirnya jatuh. Lelaki pembuka dakwah bagi Tanah Hijrah itu menuntaskan baktinya. Ketika Ibn Qumai'ah dengan bertubi menyambarkan pedangnya ke tangan kiri, lalu tangan kanan, lalu leher hingga dadanya, lisan Mush'ab tak terjeda dari membaca ayat, "Wa maa Muhammadun illa Rasuul... Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul. Telah berlalu sebelum dia para Rasul. Apakah jika dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang?"
.
Dan seiring telungkup jasad Mush'ab ke bumi, berteriaklah si durjana, "Aku telah membunuh Muhammad!"
.
Di hari itu, Hamzah dilembing dengan culas dari belakang dan dicabik dadanya. Lalu wanita berdendam itu mengunyah jantungnya. Tak jauh darinya, justru seperti doanya semalam yang diaminkan Sa'd ibn Abi Waqqash, 'Abdullah ibn Jahsy juga tumbang. Telinga dan hitungnya dipotong, perutnya dibedah, dan isinya dikeluarkan oleh tangan keji berbenci.
.
Musuh berhamburan datang ke arah kekasih Allah itu. Maka Abu Thalhah dan Sa'd ibn Abi Waqqash terus membidik, hingga busur patah, dan semua diminta menyerahkan panah mereka pada keduanya. Thalhah sang perisai sudah mandi darah. Dan inilah Abu 'Ubaidah ibn Al Jarrah mendekat, menggunakan giginya untuk mencabuti 3 cincin besi yang menyerikan pelipis beliau. Tiap kali ada yang tercabut, gigi Abu 'Ubaidah turut patah.
.
Malik ibn Sinan Al Khudzri melihat luka Sang Nabi ﷺ  masih mengucurkan darah. Dia mendekat, dan sembari merangkul, dia sesap rembesan cairan merah dari lubang di wajah itu.
.
"Muntahkan hai Malik!", perintah beliau ﷺ.
.
Malik menggeleng. Hingga tiga kali Rasulullah  ﷺ  menyuruhnya dan Malik menolak, bahkan terdengar glek yang membuat semua tahu bahwa darah itu telah ditelannya. "Betapa bahagianya aku Ya Rasulallah, karena ada darahmu mengalir dalam diriku."
.
Sunnah itu cinta.
.
"Siapa yang ingin melihat penduduk surga", begitu beliau ﷺ  bersabda dengan berkaca-kaca, "Maka lihatlah lelaki ini." Nyaris ambruk karena bahagia mendengarnya, Malik kembali menguatkan diri dan berlari maju ke medan tempur. Lelaki beruntung itu menjemput syahidnya, gugur tak berselang lama kemudian.
.
Sunnah itu cinta.
.
Bagaimana kita tidak cinta kepada Rasulullah shalallahu'alayhi wasalam, kepada orang yang kemudian dikatakan gila dikatakan penyair tidak waras dikatakan dukun dikatakan ahli sihir yang memisahkan manusia dan ketika dicaci maki membalas pujian dan ketika disakiti membalas kunjungan
.
Bagaimana kita tidak cinta Rasulullah shalallahu'alayhi wasalam dan kalau kita cinta pasti hadir keinginan di hati kita untuk mengetahui dan memahami setiap detail dan inci tentang diri dan kehidupan beliau shalallahu'alayhi wasalam.
.
Sunnah itu bertanya pada hati, "Apa yang akan dilakukan Nabi ﷺ  dalam hal yang kuhadapi?"
.
"Wahai Ayahanda", ujar 'Abdullah ibn 'Umar kepada bapaknya, "Mengapa bagian Usamah ibn Zaid kautetapkan lebih banyak daripada bagian Ananda, padahal kami berjihad bersama di berbagai kesempatan?"
.
"Karena", ujar Sayyidina 'Umar sembari tersenyum sendu, "Ayah Usamah, Zaid ibn Haritsah, lebih dicintai Rasulullah ﷺ   daripada Ayahmu, dan Usamah lebih disayang Rasulullah daripada dirimu."
.
Sunnah itu bertanya pada hati, "Apa yang akan dilakukan Nabi ﷺ  dalam hal yang kuhadapi?"
.
Di kala Rasulullah ﷺ   memasuki Makkah dan Masjidil Haram, Abu Bakr datang menuntun ayahnya kepada beliau. Ketika Nabi ﷺ  melihat Abu Quhafah yang sepuh lagi telah buta, beliau bersabda, 'Ya Aba Bakr, kenapa engkau tidak silakan ayahmu duduk di rumah dan aku sajalah yang datang pada beliau?'
.
"Ya Rasulallah", jawab Ash Shiddiq, "Ayahku lebih berhak berjalan kepadamu daripada engkau datang kepadanya'. Rasulullah ﷺ  tersenyum, mendudukkan Abu Quhafah di depan beliau, mengusap dadanya, dan bersabda kepada-nya, 'Masuk Islamlah'. Abu Quhafah pun masuk Islam.
.
Tepat di saat Abu Quhafah menghulurkan tangan untuk berjanji setia pada Rasulillah ﷺ,  Abu Bakr malah menangis tersedu. Sesenggukannya mengguncang bahu. Semua yang hadir bertanya-tanya. Bukankah di hari itu, Abu Bakr harusnya berbahagia menyaksikan keislaman ayahnya? Bukankah suatu kesyukuran besar menyaksikan orang yang kita kasihi dibuka hatinya oleh Allah untuk menerima hidayah?
.
Namun Ash Shiddiq berkata pada Sang Nabi ﷺ  dengan tergugu-gugu, “Demi Allah, lebih kusukai jika tangan Pamanmu ya Rasulallah, menggantikan tangan Abu Quhafah menjabatmu, lalu dia masuk Islam dan dengan begitu Allah membuatmu ridha.”
.
Paman yang dimaksud tentulah Abu Thalib. Dia yang telah memberikan seluruh daya upaya di sisa usianya untuk membela dakwah keponakan tersayangnya, namun hidayah tak menjadi haknya. Betapa sedih Rasulullah ﷺ  tentang itu. Betapa mengerti Abu Bakr akan isi dada Muhammad ﷺ.
.
Sunnah itu bertanya pada hati, "Apa yang akan dilakukan Nabi ﷺ  dalam hal yang kuhadapi?"
.
Sahabat sejati, seperti Ash Shiddiq dan Al Faruq, selalu mengukur sikapnya dari hati sang kekasih ﷺ. Hari ini, kita tertatih mengukur cinta di dada kita dengan isi hati mereka. Apa yang mereka cintai, sanggupkah kita selalu mencintainya. Dan suatu wujud cinta, sunnah itu bertanya pada hati, "Apa yang akan dilakukan Nabi ﷺ  dalam hal yang kuhadapi?"
.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ’Anhu, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, ”Tidaklah seorang hamba beriman sehingga aku lebih dia cintai daripada kerabatnya, hartanya, dan seluruh manusia.”

Komentar

Postingan Populer