Hizbut Tahrir Menjawab

 

Bagaimana dengan tudingan bahwa Hizbut Tahrir Mu’tazilah, Khawarij, dan bukan bagian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah?

Khawarij mempunyai beberapa sebutan. Kadang disebut Haruriyyah karena mereka keluar di suatu tempat yang bernama Harura’. Mereka juga disebut warga Nahrawan, karena Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu memerangi mereka di sana.

Di antara kelompok Khawarij ada yang beraliran Abadhiyyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Abadh; ada juga yang beraliran Azariqah, yaitu para pengikut Nafi’ bin al-Azraq, dan aliran an-Najadat, yaitu para pengikut Najdah al-Haruri. Merekalah kelompok yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslim karena sejumlah dosa. Karenanya, mereka juga telah menghalalkan darah kaum Muslim. Mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan siapa saja yang loyal kepada keduanya. Mereka telah membunuh Ali bin Abi Thalib setelah menyatakan bahwa beliau halal untuk dibunuh. Secara umum mereka berpandangan bahwa status orang hanya ada dua, Mukmin atau kafir. Mukmin adalah siapa saja yang telah melakukan semua kewajiban dan meninggalkan keharaman. Siapa saja yang tidak seperti itu berarti kafir, ia kekal di dalam neraka. Mereka pun kemudian memvonis kafir siapa saja yang berbeda dengan pandangan mereka. Mereka menyatakan bahwa Utsman dan Ali telah berhukum pada selain hukum yang diturunkan oleh Allah dan zalim. Karena itu, mereka kafir. Bahkan, sekte an-Najadat tegas menolak kewajiban mengangkat Imam atau Khalifah.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas sekali perbedaan Khawarij dengan Hizbut Tahrir, antara lain:

Pertama, dalam masalah iman dan kufur, Hizbut Tahrir berpegang pada prinsip pembuktian yang qath‘i (al-burhân al-qâthi‘). Karena itu, Hizbut Tahrir tidak dengan mudah memvonis orang Islam dengan vonis kafir.

Kedua, Hizbut Tahrir juga berkeyakinan bahwa umat Islam saat ini masih memeluk akidah Islam, betapapun kotor dan rapuhnya akidah tersebut. Dengan kata lain, Hizbut Tahrir tidak pernah menganggap umat ini tidak lagi berakidah Islam, karena anggapan seperti justru sangat berbahaya, dan membahayakan. Karena itu, Hizbut Tahrir tidak pernah menghalalkan darah kaum Muslim sehingga boleh dibunuh. Bahkan, tumpahnya darah seorang Muslim dianggap masih jauh lebih berharga ketimbang dunia dan seisinya, sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi Wassalam.:

Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya) benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim. (HR at-Tirmidzi).

Ketiga, Hizbut Tahrir menyatakan bahwa semua Sahabat adalah adil (kullu ash-Shahâbah ‘udul). Meski seorang Sahabat bisa saja berbuat salah, hal itu tetap tidak akan menghilangkan status keadilannya. Apa lagi, memvonis Sahabat dan para pengikutnya dengan vonis kafir. Na‘ûdzu billâh.

Keempat, Hizbut Tahrir juga menyatakan bahwa Utsman dan Ali sebagai kepala negara Islam tetap berhukum pada hukum yang diturunkan oleh Allah. Adapun kasus tahkîm yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, yang masing-masing mengangkat Abu Musa al-Asy‘ari dan Amr bin al-Ash, justru untuk menjalankan perintah Allah dalam masalah tahkîm, bukan sebaliknya.

Kelima, dalam konteks pengangkatan imam dan khalifah, termasuk di dalamnya kewajiban menegakkan Khilafah, jelas Hizbut Tahrir sangat berbeda dengan sekte an-Najadat, yang dengan tegas menolak kewajiban tersebut. Tinggal satu masalah, apakah tindakan Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka sama dengan tindakan kaum Khawarij? Tentu tidak. Kaum Khawarij, sebagaimana namanya, adalah mereka yang melawan para penguasa (Khalifah) yang nyata-nyata menjalankan hukum Allah, bukan para penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah. Sebaliknya, Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka justru karena mereka tidak mau tunduk dan patuh pada hukum Allah. Umumnya, mereka adalah para penguasa boneka dan kaki tangan negara penjajah, pengkhianat Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kaum Muslim.

Dalam melakukan misinya, kaum Khawarij menggunakan cara-cara fisik dan kekerasan, bahkan sampai membunuh lawannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Hizbut Tahrir, sebagai entitas intelektual, tidak pernah menggunakan cara-cara tersebut. Sekalipun para anggotanya banyak yang telah dianiaya, dizalimi dan dibunuh di dalam penjara-penjara para penguasa despot, Hizbut Tahrir tetap hanya menjalankan aktivitas intelektual dan politik; tanpa sedikitpun menggunakan cara-cara kekerasan, apalagi anarkis. Semua itu dilakukan bukan karena tidak berani atau tidak mampu, tetapi semata-mta karena Hizbut Tahrir berpegang teguh pada garis perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. dan tidak ingin menyimpang sedikitpun, meski hanya seutas rambut.

Lalu, dari mana Hizbut Tahrir dan aktivitasnya disamakan dengan Khawarij, padahal keduanya berbeda sama sekali? Ataukah mereka yang membuat tuduhan itu memang tidak paham tentang Khawarij dan juga Hizbut Tahrir? Atau mungkin mereka paham, tetapi sengaja melakukan penyesatan, karena ada pesanan, sehingga bisa membuat analogi yang sama sekali keliru, yang bahkan membuktikan rendahnya kadar intelektualitas mereka?

Hizbut Tahrir juga berbeda dengan Muktazilah, antara lain:

Pertama, dalam masalah akal. Muktazilah dan Asy’ariyah, sama-sama menggunakan akal tanpa batas, sehingga digunakan melampaui kapasitasnya, sebagaimana dalam pembahasan tentang Sifat Allah; apakah sifat sama dengan Zat (Muktazilah), atau berbeda dengan Zat (Asy’ariyah).

Kedua, dalam masalah perbuatan. Muktazilah menyatakan, seluruh perbuatan manusia berasal dari manusia, tanpa membedakan mana yang wilayah ikhtiyari dan ijbari. Ini jelas ditolak oleh Hizbut Tahrir.

Ketiga, dalam masalah tawallud al-af’al (konsekuensi perbuatan), yang dinisbatkan kepada manusia. Ini juga berbeda dengan pandangan Hizbut Tahrir.

Keempat, dalam masalah takwil. Muktazilah cenderung menakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak sejalan dengan pandangannya, sehingga mengorbankan ayat-ayat yang lain. Dengan kata lain, takwil didasarkan pada cocok dan tidak dengan logika, bukan didasarkan pada nas. Ini juga ditolak oleh Hizbut Tahrir.
Dengan demikian, jelas sudah, bahwa Hizbut Tahrir tidak bisa dipersamakan dengan Muktazilah. Mempersamakan Hizbut Tahrir dengan Muktazilah hanya menunjukkan kejahilan tentang Muktazilah dan tentang Hizbut Tahrir.

Mengapa Hizb Tahrir tidak  banyak berkembang di Timur Tengah, apakah karena idenya tidak diterima atau karena faktor lain?

Di sepanjang kekuasaan rezim represif di seluruh negara Timur Tengah, bukan hanya Hizb Tahrir, gerakan Islam lain yang bersifat politik juga tidak berkembang. Jadi tidak berkembangnya Hizzb Tahrir bukan karena idenya tidak diterima, tapi lebih karena tekanan penguasa yang memang tidak membiarkan gerakan apapun yang mungkin akan mengancam kekuasaan mereka itu berkembang. Tapi setelah para penguasa itu tumbang, Hizb Tahrir dengan cepat berkembang lagi di Mesir, Tunisia, Lybia dan negara-negara Timur Tengah lain.

 Mengapa Hizb Tahrir sering dipojokkan?

Hizb Tahrir memang sering dipojokkan. Ini aneh, karena dalam perjuangannya Hizb Tahrir tidak pernah menggunakan kekerasan atau merugikan orang lain. Gagasan-gagasannya juga cukup jelas. Bisa dibaca dan didiskusikan dengan terbuka. Jadi, mengapa Hizb Tahrir sering dipojokkan, ada banyak kemungkinan. Bisa karena mereka itu tidak paham substansi dari perjuangan Hizbut Tahrir, yang intinya bagaimana mewujudkan kembali kehidupan Islam masyarakat dan negara melalui penerapan syariah dalam bingkai Khilafah agar kerahmatan Islam bisa dirasakan oleh semua. Bisa juga karena memang tidak suka pada ide ini. Mereka yang tidak paham, insyaAllah tidak sulit dipahamkan. Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah memahami apa sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa itu substansi syariah dan khilafah yang tidak lain adalah justru untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.

Sementara yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam hatinya, bisa juga karena mereka telah diuntungkan oleh sistem sekuler yang ada sekarang ini. Dari sini sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa mereka yang menentang ide syariah dan khilafah itulah berarti orang yang tidak menginginkan  Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dan mengakui bahwa kemerdekaan negeri terjadi atas berkat rahmat Allah Ta’ala, menjadi lebih baik di masa mendatang. Mereka juga berarti menginginkan penjajahan (baru) tetap terus berlangsung karena mereka turut diuntungkan meski itu telah menyengsarakan rakyat banyak.

Siapa yang ada di balik upaya itu?

Ada dua. Pertama anasir-anasir di dalam negeri, baik muslim maupun non muslim, yang tidak menginginkan Islam tegak. Bila non muslim, pasti mereka tidak memahami esensi perjuangan Hizb Tahrir dengan baik dan sudah terlanjur ada kedengkian dan ketakutan tanpa dasar. Sementara bila muslim, pasti mereka adalah muslim yang telah ter-sekuler-kan. Bagaimana mungkin seorang muslim justru menentang perjuangan bagi tegaknya syariah dan khilafah yang akan membawa Islam kembali jaya.

Kedua, adalah negara Barat dan hegemoninya, yang memang akan terus berusaha melanggengkan hegemoninya di dunia Islam, termasuk di Indonesia, demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Mereka akan menghantam habis setiap kekuatan politik muslim yang berpotensi akan mengganggu hegemoni mereka itu. Dan dalam operasinya mereka akan berkolaborasi dengan kelompok pertama dan kedua tadi.

Bagaimana Hizbut Tahrir menghadapi itu semua?

Hizb Tahrir menghadapi semua itu dengan tenang dan tegar. Hizb Tahrir tidak takut menghadapi semua itu. Hizb Tahrir memahami semua itu sebagai salah satu tantangan, hambatan dan rintangan dalam dakwah. Bila karena belum atau salah paham, Hizb Tahrir akan datang memahamkannya. Bila itu fitnah, Hizb Tahrir akan menjernihkan fitnah itu. Dan dalam menghadapi semua tantangan itu, Hizb Tahrir yakin sekali akan pertolongan Allah Ta’ala yang pasti akan diberikan kepada para pejuang agama-Nya.


Almas Al-Ghazi

(Source : Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir Indonesia)

Komentar

Postingan Populer