Menyoal Unjuk Rasa: Logika Terbalik Para Pengklaim Sebutan ‘Salafi’
Semua tahu daging babi itu haram. Semua juga sepakat kalau turunannya, olahannya, sekecil apapun bentuknya, haram juga hukumnya. Ini logika yang kita pakai. Sayangnya, logika seperti ini tidak dipakai kaum yang sering mengklaim dirinya sebagai ‘Salafi’. Terutama dalam masalah demokrasi.
Hukum demokrasi mereka tegas mengharamkannya, tetapi turunan demokrasi, hasil-hasilnya, mereka menikmatinya. Menghukumi para penguasa negeri demokrasi sebagai ‘ulil amri’. Dan menuduh para pengkritik penguasa, yang sejatinya berjuang untuk Islam, sebagai kaum ‘khawarij’. Sayangnya, sikap seperti ini banyak mereka tunjukkan justru saat penguasanya cenderung sekuler.
Saat penguasanya Muslim, mereka tidak konsisiten, dan ikut-ikutan kaum sekuler menggoyang penguasa. Apa yang terjadi di Mesir adalah contoh nyata. Saat Mursi dikudeta mereka diam saja, saat Al-Sisi didemo, mereka bilang haram hukumnya.
Saya tidak tahu pasti alasan kaum pengklaim sebutan ‘Salafi’ bersikap seperti ini. Dari survey acak yang saya lakukan, dan hasil interaksi dengan mereka, saya menduga ini karena kekurang-pahaman mereka tentang dunia politik, atau istilah kerennya siyasah syar’iyyah. Tidak sampai di pikiran mereka, bagaimana jika para penguasa ini ‘ditunggangi’ musuh-musuh Islam. Bagaimana jika ternyata, ‘Salafi’ ini dimanfaatkan penguasa untuk memuluskan agenda pribadi mereka. Tetapi jika pun mereka tidak paham politik, mestinya jangan banyak berkomentar, karena akan kelihatan tidak profesional. Persis seperti Abu Janda, yang ‘gak ono pinter-pintere blass’ itu.
Semua sepakat, jika ada orang lain ingin merebut dan menempati rumah kita, kita wajib mempertahankannya. Apalagi rumah kita juga sah secara legal, lengkap dengan Sertifikat dan IMB-nya. Bahkan jika orang terus memaksa, maka tetangga, saudara, msayarakat akan dengan sukarela membantu kita.
Tetapi pengaku ‘Salafi’ tidak sepakat dengan ini. Untuk urusan Palestina, mereka menyuruh orang Palestina, sang pemilik rumah yang sah untuk pergi, dan memberikan tanah tumpah darah mereka kepada Yahudi. Alasannya bisa macam-macam. Mungkin salah satunya untuk I’dad, persiapan berjihad merebut kembali tanah Palestina.
Tetapi, kaum pengaku ‘Salafi’ mana punya pengalaman Jihad, wong kaum Jihadis banyak mereka hukumi sebagai ‘khawarij’. Lagi-lagi, mereka tidak profesional, tidak mampu menyatukan kata dan perbuatan. Dan beginilah mentalitas Abu Janda, manusia ‘gak ono pinter-pintere blass’ itu.
Saya tidak tahu pasti, apakah mereka bisa memahami ayat 19 surat At-Taubah. Karena prakteknya jauh panggang dari api. Pengklaim ‘Salafi’ tampak lebih dominan hanya dari taklim ke taklim, tetapi minim aksi solidaritas dunia Islam.
Jikapun tampak kegiatan outdoor, rata-rata fasilitasnya cukup wah, seperti program Muslim Family Land itu. Ustadz-ustadz merekapun, paling jauh tampak tidur di kursi, tetapi kursi bandara, sementara ustadz ‘Non Salafi’ sering tampak tidur di tikar rumah-rumah pedalaman.
‘Ala kulli hal, pengaku diri sebagai kaum ‘Salafi’ adalah salah satu elemen umat ini. Mereka eksis, memiliki kontribusi riil, dan menjadi bagian integral ummat. Mari doakan mereka dalam kebaikan, agar berubah cara berfikir dan bertindaknya. Meyakini bahwa Islam tegak melalui berbagai pengorbanan, bukan sekedar taklim ke taklim. Memahami bahwa perjuangan Islam berasa nikmat saat diliputi banyak keterbatasan, bukannya dengan pelbagai fasilitas ‘wah’ dan perut terus-terusan kenyang. Wallahu A'lam Bishawab.
Komentar
Posting Komentar