KHILAFAH ; Wajib Hukumnya
Benarkah
tidak ada dalil tentang kewajiban Khilafah ?
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164:
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164:
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad
Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam
[Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang
mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wassalam. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan
ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum
(Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat
seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru
dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang
difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada
pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam
melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah
dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul
Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam,
hlm. 34)
Kewajiban
Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan
bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah,
semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah
[Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal,
Juz 4 hlm.78)
Khusus
dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan, ”Para
imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad]
rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa
kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan
syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka
juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak
boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Para
ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan
Qaidah Syar’iyyah.
Dalil
Al Qur`an, antara lain firman Allah Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS
An-Nisaa`: 59)
Wajhul
Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil)
dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati
Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil
wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah Ta’ala memerintahkan
umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah
mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini
menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah
wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad
Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil
Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah Ta’ala :
“Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”
(QS Al Maidah : 48)
Wajhul
Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah
memerintahkan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi
Wassalam untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan
apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wassalam hakikatnya
adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah
itu kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi
Wassalam saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini
hanya kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi
Wassalam, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya
hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang
Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya
mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al
Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm.
49).
Dalil
Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 178), hudud (misal had
bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2;
atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah
: 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya
seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk
wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat
tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.
Dalil
As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi Wassalam :
“Barangsiapa yang mati
sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka
matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah
(penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati
jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang
baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini
menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al
Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm.
49.)
Dalil
lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi Sallallahu
‘alaihi Wassalam:
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam
suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka
untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR
Abu Dawud).
Imam Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin)
untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan),
maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah
yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah,
hlm. 11).
Dengan
demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti
sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan,
seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan
serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah
wajib hukumnya.
Adapun
dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :
“Mengangkat
seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam
Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).
Imam
Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
“Ketahuilah
juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa
mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah
wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika
mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban
menguburkan jenazah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wassalam.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).
Adapun
dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah
yang berbunyi :
“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka
sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah
diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat
dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan
hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman
had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan
Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya.
Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna
oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan
(sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga
merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah
Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al
‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).
Apakah khabar dari
Rasulullah tentang akan adanya khilafah ala minhajin nubuwah (hadits Hudzaifah
bin al Yaman) juga jadi dalil?
Dalil
wajib tegaknya khilafah sudah diuraikan di atas. Adapun hadits Hudzaifah bin al Yaman adalah busyra atau kabar gembira Rasululullah
tentang bakal kembalinya khilafah di masa mendatang. Meski tidak mengandung
tuntutan atau thalab, tapi hadits
tadi penting untuk diperhatikan. Logikanya, tidak mungkin sesuatu itu, yakni
Khilafah, dikabarkan oleh Rasulullah bakal kembali tegak bila sesuatu itu bukan
perkara penting dan wajib dalam agama
ini.
Komentar
Posting Komentar