Membaca Anomali Oknum Salafi
Membaca langkah ‘Salafi’ dalam pusaran dinamika umat, berarti membaca sebuah anomali. Saat umat sibuk meminta keadilan bagi penista Al-Quran, mereka malah gencar mengharamkan demo.
Disaat umat Islam menuntut keadilan terhadap penistaan Agama, pembakaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid, mereka malah sibuk menisbatkan kaum yang menuntut keadilan sebagai “Khawarij”.
Tak hanya itu, salah satu ustadz ‘Salafi’ malah menyebut persatuan umat ini sebagai ‘persatuan kebun binatang’. Di lain kesempatan, ustadz ‘Salafi’ yang lain malah lebih ekstrim. Ia dengan berani menghalalkan darah para demonstran. “Itung-itung ngurangi kepadatan penduduk,” katanya. Sebuah lelucon yang sama sekali tak memancing tawa.
Saat umat berduka dengan pembantaian Aleppo, mereka membuat propaganda, membandingkan Aleppo sebelum dan setelah perang. Mereka buat sendiri rumus, teori bagaimana berjihad dan memenangkan jihad, yang miskin ruh perjuangan, jauh dari tuntunan Quran-Hadits, dan hanya berisi janji-janji surga. Karena tak pernah sekalipun tercatat dalam sejarah, kejayaan dan kemuliaan Islam tercapai dengan cara yang mereka rumuskan.
Paling terbaru adalah tahdzir (celaan) mereka terhadap Ustadz Adi Hidayat, dai muda yang tengah naik daun. Namanya tahdzir, jauh dari semangat ukhuwah dan muatan ilmiah. Meski belakangan, Alhamdulillah sepertinya mereka bersikap melunak setelah melihat reaksi ummat, maupun respon cerdas Ustadz Adi sendiri. Serta, saling Tahdzir antara mereka sendiri, yang baru-baru ini Ustadz Khalid Basalamah pun mendapatkan Tahdzir-an mereka
Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil, dari berbagai anomali yang terus dipertontonkan kaum ‘Salafi’. Tentu saja masih banyak yang tidak terekam, karena memang kita tidak ingin terjebak dalam ‘perangkap’ mereka. Karena ibarat sebuah peperangan, ‘Salafi’ ini cukup konsisten dalam membuat gaduh di belakang, di saat kita semua fokus dengan musuh di garis depan.
Melihat hal-hal di atas, menjadi menarik untuk mengkritisi ‘Salafi’, terutama dari sudut pandang kaum profesional. Pertama, pastinya ‘Salafi’ jauh dari sikap profesionalisme. Dalam dunia profesional, kita tidak akan mencampuri bidang yang memang bukan keahlian kita. Seorang Engineer tidak akan merecoki kerjaan Accountant, begitu sebaliknya. Keduanya, jika memiliki sikap profesional, harus saling sinergi, untuk mencapai tujuan perusahaan.
Tetapi ‘Salafi’ lain. Mereka merasa sah untuk mengkritisi kaum jihadis, misalnya, meski mereka ‘gak pernah mengalami sendiri dunia jihad. Alih-alih saling sinergi, kaum jihadis ini mereka labeli dengan hal-hal yang kontra-produktif, malah seringkali mereka menjadi ‘corong’ propaganda musuh. Entah itu disengaja, atau faktor kebodohan semata.
Kedua, ‘Salafi’ itu ‘consistently inconsistent’. Mereka sering mencontohkan, bagaimana Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah sampai dipenjara karena teguh memegang prinsip di hadapan penguasa, tetapi tak seorangpun dari asatidzah mereka yang karena gigihnya dalam berjuang, sampai masuk penjara. Sebaliknya, mereka malah melabeli para Ulama yang masuk penjara sebagai Khawarij, maupun istilah lain yang semisal dengannya.
Ketiga, ‘Salafi’ jauh dari sikap ‘walk the talks’. Padahal ini sangat penting, karena intisari Ash-Shaf ayat 3 adalah ‘walk the talks’ ini. Kita lihat bagaimana ‘Salafi’ begitu gencar memberantas syirik, bid’ah dan berbagai penyakit ummat lainnya, tetapi membisu ketika hal-hal itu dipraktekkan penguasa. Paling banter, cuma berani ngomong di pengajian. ‘Gak berani setegas saat pelakunya adalah orang awam.
‘Salafi’ selalu mengklaim jalan mereka-lah yang paling sesuai dengan kehidupan Rasul dan para Sahabat, tetapi realitasnya sering bertolak-belakang. Para Sahabat banyak menghabiskan hidupnya di medan-medan jihad, mereka justru mengkritisi kaum jihadis. Tubuh dan pakaian mereka bersih dari debu jihad. Para Sahabat mencukupkan dengan hidup sederhana, mereka sampai punya program ‘Muslim Family Land’, sebuah acara mirip outbound dengan fasilitas ‘super wah’, dalam kacamata Islam.
Tentu masih banyak lagi ketidak-profesionalan ‘Salafi’, tetapi 3 hal di atas telah mencakup nilai-nilai yang prinsipil sifatnya. Sebagai sesama Muslim, kita dituntut untuk terus mengingatkan mereka. Misalnya, Pertama, mengingatkan bahwa agama ini adalah agama amal sholeh, yang tidak cukup dipraktekkan hanya dari pengajian ke pengajian. Dengan amal sholeh, menjadi praktisi lapangan, akan mengurangi syahwat dalam mentahdzir kelompok lainnya.
Cara Kedua, dengan mengajak para asatidzah mereka berangkat ke garis depan, pergi ke medan-medan jihad. Biarkan para asatidzah menyaksikan sendiri, mulai dari kesabaran para jihadist, sampai kehati-hatian kemana moncong senjata mereka arahkan. Pengalaman-pengalaman seperti ini, saya yakin mampu merubah paradigma mereka dalam berislam.
Selebihnya, hidayah tentu hak prerogatif Allah Ta’ala. Wallohu a’lam.
Komentar
Posting Komentar