Sekularisme dan Politik Machiavelli di Arab Saudi


Selama hampir sebulan penuh pada Oktober lalu, dunia diramaikan dengan isu pembunuhan seseorang yang disebut-sebut sebagai jurnalis Saudi, yaitu Jamal Khashoggi, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul. Sejak dinyatakan hilang pada tanggal 2 Oktober ketika ia memasuki kantor konsulat tersebut dalam rangka mengurus dokumen rencana pernikahannya dengan seorang wanita Turki, ada sejumlah kekhawatiran bahwa ia memang dibunuh atau diculik.

Dinas intelijen Turki dengan sigap mengumumkan bahwa mereka memiliki bukti-bukti bekas penyiksaan dan pembunuhan Khashoggi oleh agen-agen Saudi. Pemerintah Arab Saudi pun dengan tegas menolak tudingan akan keterlibatan mereka. Ketika akhirnya kerajaan monarkhi itu mengakui kematian Khashoggi dan menyatakan kematian tersebut disebabkan oleh insiden perkelahian, tidak ada orang yang percaya. Sejak itu, jaksa penuntut Turki kemudian menyatakan bahwa Khashoggi tewas dicekik tidak lama setelah ia memasuki gedung Konsulat.

Ada dua fakta yang tak terbantahkan dalam kasus ini. Pertama, insiden pembunuhan ini akan mempengaruhi secara signifikan hubungan negara-negara lain dengan Arab Saudi. Kedua, kasus pembunuhan Khashoggi ini memberikan indikasi jelas bahwa sedang terjadi perubahan cara pendekatan negara monarkhi tersebut dalam kebijakan luar negerinya.

Selama ini Kerajaan Arab Saudi menghadapi banyak kritikan, di antaranya soal tata peradilan hukum yang represif, ketergantungan di bidang keamanan kepada militer negara-negara Barat, mengalirnya uang Saudi ke pusaran konflik regional melalui pihak-pihak yang dianggap sebagai proksi, keterlibatan Saudi dalam perang yang meluluhlantakkan di negara tetangga Yaman melawan Syiah Hutsi, bahkan termasuk latar belakang sejarah kerajaan juga mulai digugat.

Terkait berbagai skandal, Arab Saudi sebelumnya tidak pernah melakukan tindakan-tindakan “kasat mata” yang membuat reputasi negara kerajaan tersebut jatuh, seperti melakukan pembunuhan langsung terhadap para oposan di luar negeri. Selama satu dekade terakhir, sejumlah pangeran dan anggota keluarga kerajaan telah dihilangkan secara paksa alias dibunuh. Namun, kasus pembunuhan dengan motif politik di luar negeri ini (Istanbul, red.) merupakan kejadian yang pertama.

Taktik Machiavelli yang menghalalkan segala cara sebetulnya lebih identik dengan intrik ala Rusia atau Israel, ketimbang Arab Saudi. Jadi apa sebenarnya yang sedang berubah atau terjadi dengan Arab Saudi? Mengapa kerajaan klan Sa’ud itu mengadopsi “realpolitik” untuk menghukum para oposan yang keluar dari jalur mainstream?

Realpolitik yang berasal dari Bahasa Jerman ini merujuk pada politik atau diplomasi yang lebih didasarkan pada kekuatan, faktor-faktor, dan pertimbangan praktis dan material. Sebaliknya, relatif mengabaikan soal ideologi atau premis moralistik atau etika. Realpolitik memiliki aspek pendekatan filosofis yang sama dengan “realisme” dan “pragmatisme.” Istilah realpolitik kadang digunakan secara peyoratif untuk menyebut politik yang koersif, amoral, bahkan Machiavellian.

Faktor utama nampaknya mengarah kepada sosok Putra Mahkota Muhammad bin Salman. Namun masih agak jauh dan terlalu dini apabila kita mengaitkan Muhammad bin Salman dengan fenomena Arab Saudi saat ini tanpa menganalisa lebih lanjut hubungan antara kebijakan-kebijaknya saat ini dengan pembunuhan Khashoggi.

Marginalisasi Otoritas Keagamaan

Sejak menjadi penguasa de facto Arab Saudi di bawah ayahnya, Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud, Muhammad bin Salman telah mengajukan berbagai program reformasi bagi negaranya sebagai persiapan menghadapi “Visi 2030.” Rencana besar untuk mendiversifikasi ekonomi negara yang tidak lagi mengandalkan Produk Nasional Bruto (GNP) pada sektor migas merupakan langkah yang bijak meskipun terlambat. Termasuk kebijakan perang melawan korupsi sebenarnya merupakan langkah yang positif, namun pola pendekatan yang diterapkan oleh Putra Mahkota ini dianggap terlalu keras dan tidak kenal kompromi.

Salah satu langkah kontroversial lainnya yang diambil adalah menangkapi sejumlah ulama yang tidak secara terbuka menyatakan dukungan terhadap pemerintah, di antaranya Syaikh Salman al-Audah. Implikasinya, otoritas ulama dan keagamaan Arab Saudi yang sudah lama terstruktur secara mapan berkonskuensi mengalami pelemahan.

Pada bulan Oktober 2017, Muhammad bin Salman memberikan pidatonya dalam sebuah momen penting yang menandai diumumkannya kebijakan baru bahwa Kerajaan akan “kembali pada keadaan kami sebelumnya, yaitu sebuah negara Islam moderat yang terbuka bagi semua agama dan dunia.” Gejala ini sudah mulai terlihat sejak dekade terakhir ketika mendiang Raja Abdullah pada tahun 2010 mendeklarasikan bahwa hanya ulama pemerintah yang boleh mengeluarkan fatwa, dan ketika Komisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar mulai dijauhkan dari kekuasaan pada tahun 2016.

Pergulatan di episentrum kekuasaan antara koalisi “Saudi-Salafi” yang sudah berusia berabad-abad kini semakin keras sejak kendali pemerintahan berada di tangan Putra Mahkota. Apakah pelemahan otoritas keagamaan merupakan harga yang harus dibayar? Adakah korelasi antara cara-cara Machiavelli yang saat ini mulai diadopsi penguasa de facto Arab Saudi dengan runtuhnya peran keagamaan dalam politik di negara kerajaan tersebut?

Ancaman Sekuler

Pola korelasi semacam itu sudah sering terjadi di sepanjang sejarah terutama di Dunia Islam. Sebagai contoh, menurut satu referensi adalah kekejaman Turki Utsmani terhadap penduduk Armenia pada tahun 1915. Insiden ini terjadi setelah pemimpin muda Turki Utsmani hasil didikan sekuler Barat memegang kekuasaan dan mulai menyingkirkan tokoh-tokoh ulama di era pemerintahan Sultan Abdul Hamid II.

Satu lagi contoh terbaru, adalah perbedaan perlakuan atau cara menyikapi para demonstran dan oposan di Mesir oleh pemerintahan Ikhwanul Muslimin di bawah Presiden Mursi dengan pemerintahan militer sekuler di bawah Abdul Fattah al-Sisi. Dalam satu hari saja pada tahun 2013, rezim al-Sisi yang sekuler menewaskan sedikitnya 900 orang warganya sendiri, sementara sudah tak terhitung lainnya ada yang dipenjara, disiksa, dan dieksekusi, dan terus berlangsung hingga saat ini.

Contoh lain juga terjadi di luar Dunia Islam, di antaranya kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah atheis Uni Soviet, Nazi Jerman, dan yang terbaru oleh pemerintah komunis Cina.

Kekejaman yang dilakukan tanpa sedikitpun keraguan itu merupakan karakteristik pemerintahan sekuler di seluruh dunia. Pada umumnya mereka tidak menghormati hak-hak demokrasi sehingga tidak ada sistem pengawasan terhadap pemerintah, atau mereka membatasi peran agama dalam politik dan pemerintahan. Alasan utamanya, bahwa ketaqwaan kepada Sang Pencipta dan keyakinan akan Hari Akhir yang mempengaruhi perilaku manusia dianggap tidak memberikan manfaat baik dalam lingkup individu maupun level negara.

Bahkan seorang filosof terkemuka Jerman penganut atheis pada abad ke-19, Friedrich Nietzsche, pun mengakui bahwa peminggiran struktur moral keagamaan dari dunia politik, termasuk penerimaan terhadap adagium “Tuhan telah mati” akan menyebabkan gelombang totaliterisme & pertumpahan darah. Dan inilah yang terjadi kemudian di abad berikutnya.

Arab Saudi di sepanjang sejarahnya terus mendapatkan kritikan secara luas. Selain itu, ada hal-hal positif yang dilakukan pemerintahan monarkhi tersebut dalam beberapa dekade terakhir, seperti membiayai program pembangunan kembali Afghanistan, Bosnia, dan Palestina. Keberanian Arab Saudi melakukan asasinasi politik terhadap Khashoggi di luar wilayah yurisdiksinya menandai sebuah era baru. Dengan menyingkirkan struktur keagamaan dan otoritas ulama dari pusat kekuasaan, Muhammad bin Salman, nampaknya sedang membangun jalan bagi kembalinya model “Republik Sekuler Arab” dengan menggunakan taktik ala Israel & asasinasi terhadap lawan politik.

- Al-Ghazi Almas

Komentar

Postingan Populer